MAKALAH
PERBAIKAN STATUS GIZI ANAK BALITA DENGAN INTERVENSI BISKUIT BERBASIS BLONDO, IKAN GABUS (Channa striata), DAN BERAS MERAH (Oryza nivara)
OLEH :
KELOMPOK VII
DARWIN HAMENTE
SYAHRUL
JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN KONSENTRASI GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang secara nasional mencapai 13,9%, sedangkan tingkat provinsi Sulawesi Selatan menempati urutan kesepuluh prevalensi gizi kurang di atas angka prevalensi nasional yaitu sekitar 21,2-33,1%.
Provinsi tersebut dari yang tertinggi sampai terendah berurut-turut yaitu NTT, Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku, Kalimatan Selatan, Kalimantan Barat, Aceh, Gorontalo, NTB, dan Sulawesi Selatan (Kemenkes RI 2013). Anak balita gizi kurang di Indonesiaumumnya berdomisili di pedesaan (15,3%), pekerjaan orangtua adalah petani/nelayan/ buruh (15,8), dan tidak sekolah/tidak tamat SD (32,3%) (Kemenkes RI 2013).
Pada masa balita pertumbuhan dan perkembangan terjadi sangat cepat sehingga diperlukan asupan zat gizi yang tinggi. Pertumbuhan yang cepat dan hilangnya kekebalan pasif berada dalam periode sejak mulai disapih sampai usia lima tahun, yang merupakan masa-masa rawan dalam siklus hidup. Apabila seorang anak tidak mendapatkan perhatian khusus, maka masalah gizi akan sangat mudah terjadi pada anak tersebut.
Oleh karena itu, anak harus diberikan penanganan berupa perawatan dan pengasuhan yang tepat, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan gizinya, optimalisasi penanganan masalah gizi pada anak balita dapat dilakukan melalui diversifikasi pengembangan formula makanan tambahan dengan mempertimbangkan aspek gizi, manfaat kesehatan, daya terima, daya tahan serta keunggulan sumberdaya pangan lokal.
Bahan pangan yang bisa digunakan sebagai makanan untuk menambah asupan gizi pada anak dalah berupa blondo, ikan gabus (Chana striata) dan beras merah (Oryza nivara), blondo merupakan bagian kelapa yang selama ini tidak dimanfaatkan dalam pembuatan minyak kelapa. Blondo mengandung protein sebesar 9,5 g per 100 g. Potensi gizi blondo yang cukup tinggi tersebut sangat baik dalam meningkatkan kandungan gizi berbagai makanan, khususnya makanan untuk anak gizi kurang. Selain blondo, potensi bahan pangan yang banyak mengandung gizi adalah ikan gabus, yang merupakan salah satu sumber protein hewani lengkap dan bermutu tinggi karena mempunyai kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap dan susunannya mendekati asam amino yang diperlukan tubuh, serta daya cernanya tinggi sehingga jumlah yang dapat diserap juga tinggi, Beras merah mengandung antioksidan yang berasal dari pigmen antosianin sebagai pencegah penyakit jantung koroner, kanker, diabetes dan hipertensi, serta menyembuhkan penyakit rabun senja dan beriberi, menghasilkan lovastatin sebagai penurun kolesterol darah, dan penurun plak aterosklerosis
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1. Apakah Pemberian biskuit berbasis blondo, tepung ikan gabus, dan tepung beras merah selama 90 hari mampu meningkatkan status gizi berat badan terhadap umur, berat badan terhadap tinggi badan, dan kadar serum albumin pada anak gizi kurang.
2. Apakah Biskuit berbasis blondo, tepung ikan gabus, dan tepung beras merah dapat dijadikan program pemberian makanan sumber protein dalam mengatasi anak gizi kurang atau dijadikan pangan siap saji dalam kondisi darurat seperti pada saat menghadapi bencana alam dan keadaan kelaparan khususnya untuk anak balita.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Arti Penting Gizi Pada Balita
Masa balita (bawah 5 tahun) merupakan periode /usia penting dalam tumbuh kembang fisik anak. Akantetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal inidisebabkan pada masa ini anak cenderung susah untuk makan dan hanya suka padajajanan yang kandungan zat gizinya tidak baik (Hardinsyah, 1992).
Pada masa balita juga terjadi pertumbuhan dan perkembangan sehingga anak mudah sakit dan terjadi kekurangan gizi. Karena pada masa ini pertumbuhan dasar yangakan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa balitaini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional danintelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya.Perkembangan modal serta dasar-dasar kepribadian juga dibentuk pada masa ini.Sehingga setiap penyimpangan sekecil apapun apabila tidak ditangani dengan baik akanmengurangi kualitas sumber daya manusia kelak kemudian hari (Soetjiningsih, 1995).
Penilaian status gizi golongan rawan dapat memberikan informasi penting tetangkeadaan gizi suatu masyarakat pada saat sekarang maupun masa lampau. Gizi kurangpada anak dapat membuat anak menjadi kurus, pertumbuhan terhambat. Hal ini terjadikarena kurang protein (zat pembangun) dan kurang tenaga yang diperoleh dari makanananak. Tenaga anak diperlukan dalam membangun badannya yang tumbuh secara pesat.(Roedjito D. 1989).
Menurut Roedjito D (1989), alasan mengapa mengatasi dan mencegah gizi kurangpada anak merupakan masalah besar yang perlu diperhatikan adalah gizi kurang pada anak mempengaruhi pertumbuhan otak anak yang dapat menjadi hambatan dalam prosesbelajar. Anak yang terkena kwasiokor kelihatan gemuk tapi kurang sehat, mukanyagemuk seperti bulan, kaki bengkak karena odema, perut buncit tapi bahu dan lengan ataskurus. Kulit mudah terkelupas, rambut pucat anak terlihat muram. Sedangkan marasmusyang berarti kelaparan adalah dimana anak tidak mendapatkan makanan yang cukup darijenis pangan manapun, baik protein maupun zat pemberi tenaga. Anak yang sangat kurusitu sering hanya separuhnya saja dari berat sehat sesuai umur. Anak memiliki wajahseperti orang tua, kepala tampak besar karena badan kurus dan kecil, tangan dan kakinyakurus dan tulang rusuk anak telrihat nyata.
B. Status Gizi
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supriasa, 2002).Menurut Almatsier (2001 : 301) saat ini Indonesia sedang menghadapi masalah gizi ganda yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah ini mempunyai hubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi yang terjdi ditengah-tengah masyarakat. Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mugkin.
Masalah gizi merupakan masalah yang multidimensi , salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilan pencapaiannya adalah status gizi balita. Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB), tinggi badan (TB) variabel ini disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri yaitu: berat badan menurut umur (BB/U) Tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Kementrian Kesehatan RI, 2011).
C. Penilaian Status Gizi Anak Balita
1. Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Jika ditinjau dari sudutpandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukurandimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur.
Penggunaan antropometrisebagai alat ukur status gizi semakin mendapat perhatian karena dapat digunakan secaraluas dalam program-program perbaikan gizi di masyarkat. Dalam menilai status gizi anak balita dapat digunakan indikator antropmetri.
Indeks antropometri yang umum digunakandalam menilai status gizi adalah :
· berat badan menurut umur (BB/U)
· tinggi badan menurutumur (TB/U) dan
· berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
a. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Indeks BB/U adalah pengukuran total berat badan temasuk air, lemak, tulang dan otot. Indeks tinggi badan menurut umur adalah pertumbuhan linier (Supariasa, 2002).
Berat badan merupakan salah satu parameter yang memberikan gambaran masatubuh. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak, misalnya karenaterserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makananyang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antroprometri yang sangat labil.
Dalamkeadaan normal dimana kesehatan baik, keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhangizi terjamin maka berat badan berkembang mengikuti pertumbuhan umur. Sebaliknya, dalam keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan, yaitu dapatberkembang cepat atau lebih lambat. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, makaindeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran statusgizi. Mengingat karakteristik berat badan, maka indeks BB/U menggmbarkan status giziseseroang saat ini.
· Kelebihan Indeks BB/U :
- Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum
- Baik untuk status gizi akut atau kronis
- Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil
- Dapat mendeteksi kegemukan.
· Kelemahan Indeks BB/U :
- Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur sering sulit ditaksir secara tepat karena pencatatan umur yang belum baik.
- Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak di bawah usia limatahun.
- Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian ataugerakan anak pada saat penimbangan.
b. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur.Pertumbuhan tinggi badan relatif sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktuyang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak dalamwaktu yang relatif lama. Beaton dan Bengoa (1973) dalam Supariasa, 2002 menyatakan bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau, jugalebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi.
· Keuntungan IndeksTB/U
- Baik untuk menilai status gizi masa lampau
- Ukuran panjang dapat dibuat sendiri murah dan mudah dibawa
· Kelemahan Indeks TB/U
- Tinggi badan tidak cepat naik
- Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehinggadiperlukan dua orang untuk melakukannya
- Ketepatan umur sulit didapat
c. Berat Badan Menurut Tinggi Badan
Dalam keadana normal, perkembangan berat badan akan searah denganpertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakanindikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini (sekarang).
· Keuntungan Indeks BB/TB :
- Tidak memerlukan data umur.
- Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal dan kurus)
· Kelemahan Indeks BB/TB :.
- Tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, cukup tinggibadan atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya, karena faktor umur tidak dipertimbangkan.
- Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran tinggibadan kelompok balita
- Membutuhkan dua orang dalam melakukan pengukuran.
- Sering terjadi kesalahan dalam pembacan hasil pengukuran (Supariasa, 2002).
Antropometri adalah pengukuran yang paling sering digunakan sebagai metodepenilaian status gizi secara langsung untuk menilai dua masalah utama gizi yaitu kuranggizi protein dan obesitas pada semua kelompok umur. Penilaian status gizi denganmenggunakan antropometri memiliki kelebihan dan kelemahan sebagai berikut :
· Kelebihan antropometri :
- Relatif murah
- Cepat, sehingga dapat dilakukan pada populasi yang besar
- Objektif
- Dapat dirangking apakah ringan, sedang atau berat
- Tidak menimbulkan rasa sakit pada responden
· Kelemahan Antropometri :
- Membutuhkan data referensi yang relevan
- Kesalahan yang muncul seperti kesalahan pada peralatan (belum dikalibrasi) dankesalahan pada peneliti (kesalahan pengukuran, pembacaan dan pencatatan)
- Hanya mendapatkan data pertumbuhan, obesitas, malnutrisi karena kurang energy dan protein, tidak dapat memperoleh informasi karena defisiensi zat gizi mikro.
D. Perbaikan Status Gizi Anak Balita Dengan Intervensi Biskuit Berbasis Blondo, Ikan Gabus (Channa Striata), Dan Beras Merah (Oryza Nivara)
Anak balita gizi kurang di Indonesia umumnya berdomisili di perdesaan (15,3%), pekerjaan orangtua adalah petani/nelayan/ buruh (15,8), dan tidak sekolah/tidak tamat SD (32,3%) (Kemenkes RI 2013). Pada masa balita pertumbuhan dan perkembangan terjadi sangat cepat sehingga diperlukan asupan zat gizi yang tinggi. Pertumbuhan yang cepat dan hilangnya kekebalan pasif berada dalam periode sejak mulai disapih sampai usia lima tahun, yang merupakan masa-masa rawan dalam siklus hidup. Apabila seorang anak tidak mendapatkan perhatian khusus, maka masalah gizi akan sangat mudah terjadi pada anak tersebut. Oleh karena itu, anak harus diberikan penanganan berupa perawatan dan pengasuhan yang tepat, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan gizinya.
Optimalisasi penanganan masalah gizi pada anak balita dapat dilakukan melalui diversifikasi pengembangan formula makanan tambahan dengan mempertimbangkan aspek gizi, manfaat kesehatan, daya terima, daya tahan serta keunggulan sumberdaya pangan lokal. Bahan pangan lokal antara lain, berupa blondo, ikan gabus (Chana striata) dan beras merah (Oryza nivara).
1. Blondo
Blondo merupakan bagian kelapa yang selama ini tidak dimanfaatkan dalam pembuatan minyak kelapa. Blondo mengandung protein sebesar 9,5 g per 100 g. Potensi gizi blondo yang cukup tinggi tersebut sangat baik dalam meningkatkan kandungan gizi berbagai makanan, khususnya makanan untuk anak gizi kurang.
2. Ikan gabus
Selain blondo, potensi bahan pangan yang banyak mengandung gizi adalah ikan gabus, yang merupakan salah satu sumber protein hewani lengkap dan bermutu tinggi karena mempunyai kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap dan susunannya mendekati asam amino yang diperlukan tubuh, serta daya cernanya tinggi sehingga jumlah yang dapat diserap juga tinggi.
Kelebihan ikan gabus antara lain kandungan protein lebih tinggi daripada bahan pangan seperti telur, daging ayam, maupun daging sapi. Kadar protein per 100 g telur 12,8 g; daging ayam 18,2 g;dan daging sapi 18,8 g. Selain itu, protein kolagen ikan gabus juga lebih rendah dibandingkan dengan daging ternak, yaitu berkisar 3-5% dari total protein. Rendahnya kolagen menyebabkan daging ikan gabus menjadi lebih mudah dicerna bayi, kelompok lanjut usia, dan juga orang yang baru sembuh dari sakit. (Astawan 2009a).
Selain itu ikan gabus dikenal sebagai ikan yang dapat menyembuhkan luka, mengurangi rasa sakit, dan ketidaknyamanan pascaoperasi (Gam et al. 2006). Ikan gabus banyak ditangkap di wilayah Danau Tempe yang tidak jauh dengan kota ParePare dan pengolahannya masih terbatas menjadi ikan kering dan dijual segar. Potensi ikan gabus tersebut memang besar tetapi jika dikonsumsi secara langsung masih ada masyarakat yang tidak bersedia mengonsumsi karena bentuk kepala asli ikan gabus menyerupai ular serta jika dikonsumsi segar memerlukan bumbu yang lebih banyak, karena ikan gabus memiliki aroma yang sangat amis. Hal ini menyebabkan jumlah ikan gabus yang dikonsumsi juga terbatas. Pengolahan ikan gabus menjadi tepung dapat menjadi alternatif dalam menurunkan aroma amis dan meningkatkan penerimaan dan konsumsi ikan gabus.
3. Beras merah
Potensi bahan lain yang pemanfaatannya masih terbatas yaitu beras merah. Keterbatasan pengolahan beras merah ini disebabkan tekstur beras merah yang keras yang disebabkan masih adanya lapisan kulit ari yang banyak mengandung serat. Untuk itulah dengan proses penepungan dapat memperbaiki tekstur dan dapat lebih banyak variasi makanan sehingga meningkatkan pemanfaatan dan penerimaannya. Beras merah mengandung antioksidan yang berasal dari pigmen antosianin sebagai pencegah penyakit jantung koroner, kanker, diabetes dan hipertensi, serta menyembuhkan penyakit rabun senja dan beriberi, menghasilkan lovastatin sebagai penurun kolesterol darah, dan penurun plak aterosklerosis (Astawan 2009b; Suardi 2005; Kasim et al. 2005; Ling et al. 2005).
Makanan tambahan biskuit dengan substitusi blondo, tepung ikan gabus dan tepung beras merah dapat meningkatkan konsumsi protein dan antioksidan dibandingkan biskuit pada umumnya, selain itu juga meningkatkan pemanfaatan bahan lokal blondo, ikan gabus, dan beras merah. Kelebihan biskuit adalah sangat praktis, dapat diterima balita dengan rasa dan bentuk yang beraneka ragam, cukup mengenyangkan, dan daya simpan yang lama. Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh biskuit berbasis blondo, ikan gabus (Chana striata), dan beras merah (Oryza nivara) terhadap perbaikan status gizi antropometri dan serum albumin anak gizi kurang usia 3-5 tahun.
a. Kepatuhan konsumsi biskuit
Tingkat kepatuhan konsumsi biskuit antar waktu pemantauan (bulan pertama hingga bulan ketiga) menunjukkan adanya kecenderungan penurunan pada kelompok kontrol maupun pada kelompok perlakuan. Terjadinya penurunan konsumsi biskuit diduga terjadinya kebosanan, karena subjek diharuskan mengonsumsi secara terus menerus selama 90 hari dengan jenis biskuit dan jumlah yang sama, namun penurunan tersebut masih dalam kategori patuh. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Zang et al. 2010 bahwa subjek dikatakan patuh mengonsumsi biskuit jika jumlah konsumsinya ≥70%. Penurunan kepatuhan tersebut disajikan pada Tabel 1.

Kepatuhan konsumsi biskuit juga dipengaruhi oleh pengasuh yang menyatakan suka dan merasakan manfaat gizi dan kesehatan setelah mengonsumsi pemberian makanan tambahan (PMT) biskuit sehingga pengasuh dapat memberikan motivasi untuk mengonsumsi. Respons dan motivasi ibu yang baik pada kegiatan pemberian PMT biskuit bermanfaat bagi sebagian besar keluarga berpenghasilan rendah yang tidak banyak memiliki ketersediaan dan alternatif pilihan makanan jajanan untuk anak balita di rumahnya. Menurut Hartog et al. (2006) budaya makan merupakan faktor yang penting dalam proses penerimaan suatu produk baru. Produk baru akan lebih mudah diterima jika produk tersebut dianggap sesuai kebiasaan makan dan secara teknis dapat diaplikasikan di daerahnya.
b. Kontribusi Biskuit Terhadap Asupan Energi Dan Protein Anak
Asupan energi dan protein serta persen AKG dari konsumsi harian biskuit, disajikan pada Tabel 2.

Konsumsi biskuit kontrol memberikan rata-rata kontribusi energi tidak beda secara statistik (p>0,05) dibandingkan dengan konsumsi biskuit perlakuan, tetapi untuk kontribusi energi terhadap AKG pada kelompok kontrol adalah lebih tinggi dan berbeda sangat nyata (p<0,01) dibandingkan dengan kelompok perlakuan. Ratarata kontribusi protein juga tidak berbeda secara statistik (p>0,05), tetapi kontribusi protein terhadap AKG pada kelompok perlakuan adalah lebih tinggi dan berbeda sangat nyata (p<0,01) dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Perbedaan tersebut disebabkan karena komposisi gizi dan jumlah yang dikonsumsi dari kedua biskuit berbeda. Pada biskuit kontrol komposisi gizi energi dan jumlah yang dikonsumsi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan, tetapi pada komposisi protein kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol walaupun jumlah yang dikonsumsi lebih sedikit. Asupan dan tingkat kecukupan energi serta protein anak disajikan pada Tabel 3.

Berdasarkan konsumsi biskuit harian anak maka dapat diketahui asupan energi dan zat gizi serta kontribusi terhadap angka kecukupan e-nergi dan protein anak. AKG energi dan protein yang dianjurkan untuk anak usia 3-5 tahun, yaitu energi sebesar 1.125 kkal (3 tahun) dan 1.600 kkal (4-5 tahun), dan protein sebesar 26 g (3 tahun) dan 35 g (4-5 tahun). Semakin meningkat usia anak, maka semakin meningkat pula kebutuhan akan zat gizi. Program intervensi yangdikhususkan untuk balita yang menderita masalah KEP dikenal dengan istilah PMT-P (pemberian makanan tambahan pemulihan), mengandung energi 300-400 kkal dan protein 6-8 g.

Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata selisih asupan dan tingkat kecukupan energi dan protein konsumsi makanan harian setelah dan sebelum intervensi pada kelompok perlakuan adalah lebih tinggi tetapi secara statistik menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05). Hal ini ditunjukkan dengan selisih dari kedua kelompok, kelompok perlakuan 3,5+0,9%, sedangkan kontrol hanya 1,6+0,4% untuk energi. Peningkatan protein kelompok perlakuan 55,3+9,7%, sedangkan kontrol 31,4+7,1%. Secara statistik menunjukkan berbeda sangat nyata baik awal, akhir maupun selisihnya (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi biskuit dapat meningkatkan konsumsi makanan harian sehingga dapat meningkatkan kecukupan energi dan protein dan khusus kelompok perlakuan menunjukkan lebihtinggi. Dengan demikian dapat dikatakan konsumsi biskuit dapat meningkatkan nafsu makan anak.
Kecukupan gizi anak, selain dipengaruhi pemberian makanan tambahan biskuit juga ditentukan oleh konsumsi pangan harian lainnya. Hasil uji t menunjukkan bahwa pada akhir dan awal intervensi dari konsumsi makanan harian pada anak yang mendapat perlakuan biskuit kontrol dan biskuit perlakuan perbedaan sangat nyata (p<0,01) terhadap asupan dan tingkat kecukupan energi, dan protein menunjukkan perbedaan sangat nyata (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi biskuit perlakuan selama intervensi dapat meningkatkan nafsu makan harian anak.
c. Efikasi Biskuit Terhadap Status Gizi Antropometri Anak
Berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberikan gambaran tentang massa tubuh dan mudah berubah. Pengukuran berat badan dilakukan pertama kali pada sebelum intervensi pemberian biskuit dan pengukuran berikutnya berselang 1 bulan selama intervensi 90 hari.

Gambar 1 dan 2 menunjukkan pada umumnya semua subjek mengalami peningkatan berat badan dan tinggi badan pada pengukuran setiap bulan. Pertambahan berat badan pada bulan ketiga pada kelompok perlakuan lebih lambat dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini disebabkan pada kelompok perlakuan tingkat konsumsi biskuitnya lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol. Pertambahan tinggi badan kedua kelompok selama intervensi hampir sama. Hal ini menunjukkan pertambahan tinggi badan memerlukan waktu yang lama dalam penelitian ini.
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal dan relatif tidak sensitif berubah dalam waktu pendek. Apabila dilihat selama 90 hari intervensi secara keseluruhan selisih awal hingga akhir menunjukkan kelompok perlakuan mengalami pertambahan berat badan dan tinggi badan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hasil uji beda paired t test pada kedua kelompok ternyata menunjukkan perbedaan sangat nyata (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi biskuit selama 90 hari intervensi dengan substitusi blondo dapat meningkatkan berat dan tinggi badan anak gizi kurang usia 3-5 tahun lebih baik dibandingkan biskuit tanpa substitusi blondo. Distribusi balita berdasarkan status gizi dengan beberapa indikator Z skor disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 menunjukkan bahwa indikator BB/U secara umum menunjukkan adanya perbaikan status gizi setelah dilakukan intervensi biskuit selama 90 hari pada semua kategori status gizi. Perbaikan status gizi balita terlihat dengan adanya penurunan jumlah subjek dalam kategori gizi kurang. Terdapat perbaikan kategori status gizi kategori BB/U dan BB/TB baik pada kelompokkontrol maupun perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi biskuit perlakuan dapat mempercepat perbaikan berat badan terhadap umur dan berat badan terhadap tinggi badan dibandingkan biskuit kontrol.
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menilai status gizi adalah menggunakan nilai z-skor. Indikator BB/U untuk mengetahui masa tubuh, laju pertumbuhan fisik maupun status gizi, TB/U untuk mengetahui keadaan gizi masa lalu dan sekarang, dan BB/TB untuk mengetahui status gizi saat ini.
Efikasi biskuit terhadap tinggi badan terhadap umur juga menunjukkan peningkatan, tetapi tidak terdapat perbedaan (p>0,05). Hal ini membuktikan bahwa pemberian biskuit perlakuan selama 90 hari intervensi tidak sensitif terhadap peningkatan tinggi badan terhadap umur. Pertambahan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu yang singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang cukup lama. Tinggi badan digunakan untuk mengestimasi masalah gizi masa lalu (Hartog et al. 2006).
Peningkatan berat badan dan tinggi badan akibat pemberian biskuit berbasis blondo, tepung ikan gabus, dan tepung beras merah juga sejalan dengan hasil penelitian Sari et al. (2014) yaitu pemberian makanan tambahan yang mengandung energi dan protein tinggi selama delapan minggu dapat meningkatkan berat badan dan tinggi badan balita. Peningkatan berat badan anak selama intervensi baik dari kelompok kontrol dan intervensi selain diakibatkan oleh konsumsi makanan yang meningkat dan konsumsi biskuit, juga diakibatkan oleh perhatian orangtuaterhadap anak dalam pemberian makanan tambahan, selain itu ibu yang tidak bekerja dapat mempengaruhi perhatian ibu terhadap perkembangan anaknya.
d. Efikasi Biskuit Terhadap Kadar Albumin
Albumin merupakan jenis protein terbanyak di dalam darah yang mencapai kadar 60%. Peran albumin dalam tubuh antara lain memelihara fungsi ginjal, sebagai pengangkut hormon tiroid, asam lemak, bilirubin (Banh 2006). Pemberian biskuit yang merupakan sumber protein akan berpengaruh terhadap kadar albumin serum. Perubahan kadar albumin sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 6.

Hasil uji beda paired t test menunjukkan bahwa rata-rata selisih pada akhir dan awal intervensi pada kelompok perlakuan dan kontrol terdapat perbedaan yang nyata (p<0,01). Hal ini menunjukkan pemberian biskuit berbasis blondo, tepung ikan gabus, dan tepung beras merah selama 90 hari berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan kadar serum albumin. Peningkatan kadar albumin diakibatkan oleh peningkatankonsumsi protein, dan sebaliknya penurunan kadar albumin disebabkan oleh kurangnya konsumsi protein, keadaan gizi kurang/buruk, keadaan sakit, operasi, dan terjadinya kanker (Alberti & Petroianu 2010; Chowdhury et al. 2008; Sari et al. 2014; Mustafa et al. 2012).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemberian biskuit berbasis blondo, tepung ikan gabus, dan tepung beras merah selama 90 hari mampu meningkatkan status gizi berat badan terhadap umur, berat badan terhadap tinggi badan, dan kadar serum albumin pada anak gizi kurang.
B. Saran
Diharapkan biskuit berbasis blondo, tepung ikan gabus, dan tepung beras merah dapat dijadikan program pemberian makanan sumber protein dalam mengatasi anak gizi kurang atau dijadikan pangan siap saji dalam kondisi darurat seperti pada saat menghadapibencana alam dan keadaan kelaparan khususnya untuk anak balita.
DAFTAR PUSTAKA
Adi AC. 2010. Efikasi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit diperkaya dengan Tepung Protein Kedelai dan Probiotik Enterococcus faecium IS-27526 dimikroenkapsulasi pada balita (2-5 tahun) berat badan rendah [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Alberti LR, Petroianu A. 2010. Importance of the evaluation of serum albumin concentration in postoperative period of patients submitted to major surgeries. ABCD. Brasileiros de Cirurgia Digestiva (São Paulo) 23(2):8689.
Astawan M. 2009a. Ikan gabus dibutuhkan pascaoperasi. www.cbn.net.id 5:11-13.
Astawan M. 2009b. Panduan karbohidrat terlengkap. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Banh L. 2006. Serum proteins as markers of nutrition. Medicine.virginia.edu. 43: 46-64.
Chowdhury M, Akhter N, Haque M, Aziz R, Nahar N. 2008. Serum total protein and albumin levels in different grades of protein energy malnutrition. J Bangladesh Soc Physiol (3):58-60.
Gam L, Leow C, Baie S. 2006. Proteomic analysis of snakehead fish (Channa striata) muscle issue. Malaysian J Biochem Mol Biol 14:25-32.
Hartog AP, Staveren WA, Brouwer ID. 2006. Food habits and consumption in developing countries. Manual for field studies. The Netherland: Wageningen Academic Publishers.
Kasim E, Astuti S, Nurhidayat N. 2005. Karakterisasi pigmen dan kadar lovastatin beberapa isolat monascus purpureus. www.biodiversitas 2005: 2466 (4): 245-247.
[Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI.
Ling WH, Cheng QX, Wang T. 2005. Red and black rice decrease atherosclerotic plaque formation and increase antioxidant in rabbits. J Nutr 131(5):1421–6.
Mustafa A, Widodo MA, Kristianto Y. 2012. Albumin and zinc content of snakehead fish (Channa striata) extract and its role in health. IJSTE 1(2):1-8.
Sari DK, Marliyati SA, Kustiyah L, Khomsan A. 2014. Role of biscuits enriched with albumin protein from snakehead fish, zinc and iron on immune response of under five children. Pak J Nutr 13(1):28-32.
Sastroasmoro S, Ismail S. 2002. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis Ed 2. Jakarta: CV Sagung Seto.
Shenkin A. 2006. Serum prealbumin: marker of nutritional status or of risk of malnutrition. 2006. Clinical Chemistry 52: 12-16.
Suardi DK. 2005. Potensi beras merah untuk peningkatan mutu pangan. JPPP 24(3):93100.
Zang CK, Qu P, Liu YX, Li TY. 2010. Effect of biscuit fortification with different doses of vitamin A on indices of vitamin A Status, haemoglobin and physical growth level of preschool children in Chongqing. J Pub Health Nutr 13(9):1462-1471. doi:10.1017.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar