II.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Deskripsi
Teori
1.
Kelapa (Cocos nucifera L.)
Pohon kelapa atau Cocos nucifera merupakan suatu jenis
tumbuhan dari suku aren-arenan atau Arecaceae dan mudah tumbuh di halaman rumah
dan tanah tropis di Indonesia, sehingga negara Indonesia termasuk penghasil
kelapa terbesar di dunia dengan luas areal 3.533.300 hektar dengan produksi 2.924.080
ton/tahun (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015). Kelapa termasuk jenis tanaman palma yang mempunyai buah berukuran
cukup besar. Batang pohon kelapa umumnya berdiri tegak dan tidak bercabang dan
dapat mencapai 10 - 14 meter lebih. Daunnya berpelepah, panjangnya dapat
mencapai 3 - 4 meter lebih dengan sirip-sirip lidi yang menopang tiap helaian.
Buahnya terbungkus dengan serabut dan batok yang cukup kuat, sehingga untuk
memperoleh buah kelapa harus dikuliti terlebih dahulu. Kelapa yang sudah besar
dan subur dapat menghasilkan 2 - 10 buah kelapa setiap tangkainya (Palungkun,
2004).
Tanaman kelapa pada mulanya
hanya ada dua varietas kelapa yang diketahui, yaitu kelapa varietas Dalam dan
varietas Genjah. Kelapa varietas Dalam berbatang tinggi dan besar, tingginya
mencapai 30 meter atau lebih dan berbuah agak lambat, yaitu antara 6 - 8
setahun setelah tanam dan umumnya dapat mencapai 100 tahun lebih. Sedangkan
tanaman kelapa varietas Genjah berbatang ramping, tinggi batang mencapai 5 meter
atau lebih, masa berbuah 3 - 4 tahun setelah tanam dan dapat mencapai umur 50
tahun. Dengan berkembangnya ilmu pemuliaan tanaman, maka muncul lagi varietas
baru, yaitu kelapa Hibrida yang merupakan hasil persilangan antara varietas Genjah
dengan varietas Dalam (Palungkun, 2004).
Tanaman kelapa merupakan
tanaman serbaguna yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Seluruh bagian tanaman
mulai dari akar, batang, daun dan buah dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan
kebutuhan manusia (Sutardi et al.,
2008). Menurut Aristya et al. (2008), tanaman kelapa merupakan
tanaman yang seluruh bagian dari tanaman bisa dimanfaatkan dalam kehidupan, sehingga
tanaman kelapa dijuluki “Tree of Life”, karena di beberapa Negara berkembang
banyak yang menggantungkan hidupnya pada tanaman kelapa. Pemanfaatan kelapa selama ini yang utama adalah
dari buahnya yang merupakan bagian paling penting karena mempunyai nilai
ekonomis dan nilai gizi yang tinggi.
Buah kelapa terdiri
dari kulit luar, sabut, tempurung, kulit daging (testa), daging buah dan air
kelapa. Kulit luar merupakan lapisan tipis (0,14 mm) yang memiliki permukaan
licin dengan warna bervariasi dari hijau, kuning sampai jingga, tergantung
kepada kematangan buah. Jika tidak ada goresan dan robek, kulit luar kedap air
(Esti, 2001 dalam Ratna, 2004). Salah
satu bagian dari buah kelapa yang banyak dimanfaatkan adalah air buah kelapa
karena memiliki banyak kandungan gizi dan khasiat yang luar biasa. Air kelapa
memiliki unsur makro dan mikro yang meliputi nitrogen dan karbon yang sangat
penting bagi tubuh manusia. Unsur mikro dalam air kelapa juga sangat dibutuhkan
tubuh sebagai pengganti ion dalam mengembalikan stamina dan energi baru bagi
tubuh (Biojanna, 2011).
2.
Air Kelapa
Menurut Ema & Dea
(2009), air kelapa yang dihasilkan di Indonesia mencapai 900 juta liter/tahun, diperoleh
dari buah kelapa yaitu endosperma cair (coconut water) dari buah kelapa. Air
kelapa ini mengisi 3/4 bagian rongga sebelah dalam buah kelapa (Freemond dan
Ziller, 1996). Buah yang berumur kira-kira 5 bulan mengandung air yang maksimum
yaitu air kelapa yang memenuhi seluruh rongga buah kelapa. Semakin tua umur
buah kelapa, semakin berkurang volume air kelapanya. Hal ini disebabkan oleh
kebutuhan buah kelapa untuk transpirasi dan respirasi. Volume air yang terdapat
pada kelapa jenis kelapa Dalam sekitar 300 ml, kelapa Hibrida 230 ml, dan
kelapa Genjah 150 ml (Mahmud dan Ferry, 2005).
Komposisi air kelapa
tergantung dari varietas, derajat maturitas (umur), dan faktor iklim. Volume
air kelapa pada tiap buah kelapa biasanya sekitar 300 ml, dengan pH berkisar
3,5 - 6,1, memberikan rasa dan aroma yang khas karena adanya komponen aromatik
dan volatil (Yong et al., 2009). Air
kelapa memiliki komposisi kimia seperti protein, lemak, hidrat arang, vitamin
C, vitamin B kompleks, kalsium dan mineral yang sangat baik untuk tubuh
manusia. Komposisi kimia air kelapa adalah gula 2,56 %, abu 0,4 %, bahan padat
4,71 %, minyak 0,74 %, protein 0,55 %, dan senyawa khlorida 0,17 %. Kandungan
mineral kalium pada air kelapa juga sangat tinggi yaitu 203,70 mg/100 g pada
air kelapa muda dan 257,52 mg/100 g air kelapa tua (Santoso, 2003).
Sifat kimia air kelapa
ditentukan oleh nilai pH, keasaman total dan gula reduksi. Derajat keasaman
atau pH digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman yang dimiliki oleh suatu
larutan. Air kelapa memiliki pH 4,5 - 5,3 per 100 ml air kelapa. Asam-asam
organik yang terdapat pada air kelapa dapat mempengaruhi perubahan pH pada air
kelapa. Komposisi gula reduksi air kelapa yaitu sekitar 1,7 - 2,6 %. Pada air
kelapa terdapat gula yaitu sukrosa, glukosa dan fruktosa (Santoso et al., 1996). Hasil penelitian Kiswanto
dan Saryanto (2004) menunjukkan bahwa selama penyimpanan air kelapa pada suhu
dingin di dalam refrigerator dapat menghambat turunnya kadar gula reduksi
maupun pH air kelapa.
Air kelapa memiliki komposisi
yang seimbang atau hampir sama dengan cairan tubuh manusia. Penelitian di Jawa
Barat pada atlet atletik menyebutkan bahwa pemberian air kelapa murni lebih
baik dalam memulihkan kelelahan dan menunjukan indeks rehidrasi mendekati
optimal dibandingkan air kelapa dengan gula, sport drink kemasan dan air putih. Air kelapa juga tidak
menimbulkan efek samping, seperti pada minuman elektrolit kemasan yang banyak
beredar di masyarakat. Sebagian besar minuman kemasan mengandung karbohidrat dan
elektrolit dalam komposisi yang berlebihan atau tidak seimbang. Hal ini akan
menyebabkan hipoglikemi dan gangguan pencernaan (Bahri et al., 2012).
Air kelapa tua yang
diperoleh dari buah kelapa (Cocos
nucifera) sering dianggap sebagai limbah, pemanfaatan yang dikenal masyarakat
yaitu sebagai bahan pembuatan nata de
coco atau diminum langsung sebagai pelepas dahaga bagi kelapa yang masih
muda dan untuk kelapa yang tua sering kali dibuang percuma dan biasa dipakai
sebagai air pencuci bagi kelapa yang ingin diparut (Jean et al., 2009). Pemanfaatan air kelapa tua masih kurang dan banyak yang
terbuang percuma, maka dari itu perlu diupayakan optimalisasi pembuatan prodak-prodak
pangan dari air kelapa dengan melihat potensi kebutuhan dan sebagai alternatif
lain yang dapat diolah menjadi prodak minuman, seperti sirup air kelapa. Air kelapa
di ketahui memiliki nilai gizi yang baik dan bermanfaat bagi tubuh karena kandungan
kaliumnya yang tinggi, selain itu air kelapa juga mengandung gula (Jackson et al., 2004).
Air kelapa tua memiliki kadar gula 3 %, sedangkan
air kelapa muda sekitar 5 %, sehingga rasa air kelapa tua tidak sesegar air
kelapa muda. Air kelapa dari kelapa yang terlalu tua/matang mengandung minyak
dan hambar rasanya, tetapi memiliki manfaat bagi tubuh untuk menetralisasi panas
dalam dan rasa dingin saat masuk angin. Hal ini dikarenakan air kelapa tua mengandung
energi panas dan energi dingin yang lebih seimbang dibanding air kelapa muda.
Air yang dikonsumsi dari kelapa tua bersifat rendah kolesterol serta mengandung
omega-3 dan omega-6, sehingga baik dikonsumsi oleh penderita kolesterol. Air
kelapa tua pun bermanfaat untuk memperbaiki fungsi ginjal dan menetralisasi
racun dalam organ ginjal (Astawan, 2007).
3.
Kandungan Gizi Air Kelapa
Air buah kelapa
memiliki banyak kandungan gizi dan khasiat yang luar biasa. Air kelapa memiliki
unsur makro dan mikro yang meliputi nitrogen dan karbon yang sangat penting
bagi tubuh manusia. Unsur mikro dalam air kelapa juga sangat dibutuhkan tubuh
sebagai pengganti ion tubuh untuk mengembalikan stamina dan energi baru bagi
tubuh (Biojanna, 2011).
Air kelapa mengandung
zat gizi makro yaitu karbohidrat, lemak, dan protein, air kelapa muda
mengandung karbohidrat 4,11 %, lemak 0,12 % dan protein 0,13 %, sedangkan pada
air kelapa tua mengandung karbohidrat 7,27 %, lemak 0,15 % dan protein 0,29 %. Air
kelapa mengandung sangat sedikit lemak, karena dalam air kelapa hanya mengandung
energi sebesar 17,4 % per 100 g atau sekitar 44 kal/L (Rethinam, 2006). Selain
karbohidrat dan protein, air kelapa yang tua juga mengandung berbagai mineral
yang penting. Kalium (K), Natrium (Na), Magnesium (Mg), Kalsium (Ca) dan Fosfor
(P), merupakan mineral utama yang terkandung dalam air kelapa (Barlina, 1999).
Zat gizi mikro (vitamin
dan mineral) juga ditemukan dalam air kelapa, yaitu vitamin B (B1, B2, B3, B5,
B6, B7, B9) dan vitamin C yang kadarnya menurun selama maturitas. Air kelapa
merupakan larutan yang kaya mineral, mencapai maksimal umur 8 bulan dan setelah
itu menurun dengan bertambahnyan umur (Yong et
al., 2009). Air kelapa tua hanya mengandung beberapa vitamin dalam jumlah
kecil, yaitu kandungan vitamin C hanya 0,7 - 3,7 mg/100 g air buah kelapa, asam
nikotinat 0,64 mg/100 ml, asam panthonet 0,52 mg/100 ml, biotin 0,02 mg/100 ml,
riboflavin 0,01 mg/100 ml dan asam folat hanya 0,003 mg/100 ml (Palungkun,
2004). Perbandingan nilai gizi air kelapa tua dan kelapa muda dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai gizi
air buah kelapa dalam 100 g
|
||
Kandungan Gizi
|
Kelapa Tua
|
Kelapa Muda
|
Protein (%)
|
0,29
|
0,1
|
Lemak (%)
|
0,15
|
< 0,1
|
Karbohidrat (%)
|
7,27
|
4
|
Vitamin C (mg/100 ml)
|
2,2 - 3,7
|
2,2 - 3,4
|
Air (%)
|
91,23
|
95,5
|
Abu
|
1,06
|
0,4
|
Sumber : Grimwood,
1975 dalam Santoso, 2003
|
||
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
ilmuwan National Institute of Molecular Biology and Biotechnology (BIOTECH) di
UP Los Banos menunjukkan bahwa, air kelapa kaya akan potasium (kalium) hingga
17 %. Selain kaya mineral, air kelapa juga mengandung gula antara 1,7 - 2,6 %
dan protein 0,07 hingga 0,55 %. Mineral lainnya antara lain natrium (Na),
kalsium (Ca), magnesium (Mg), ferum (Fe), cuprum (Cu), fosfor (P) dan sulfur
(S). Di samping kaya mineral, air kelapa juga mengandung berbagai macam vitamin
seperti asam sitrat, asam nikotinat, asam pantotenal, asam folat, niacin,
riboflavin dan thiamin (Azwar, 2008).
Menurut penelitian Arsa
(2011) bertujuan mengetahui kadar K+ dan Na+ dalam air
kelapa varietas gading, hijau, dan hibrida dengan teknik AAS serta
membandingkan kadar K+ dan Na+ pada air kelapa yang sangat
muda, muda, dan tua, menunjukkan kandungan K air kelapa menurun dengan
bertambahnya umur buah kelapa, sebaliknya kandungan Na air kelapa meningkat
dengan bertambahnya umur buah kelapa. Perbandingan kadar Natrium dan Kalium
berdasarkan varietas dan maturitas buah kelapa dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan
kadar Natrium dan Kalium buah kelapa
|
||||||
Kandungan Kalium (mg/L)
|
Kandungan Natrium (mg/L)
|
|||||
Umur kelapa
|
Kelapa Gading
|
Kelapa Hijau
|
Kelapa Hibrida
|
Kelapa Gading
|
Kelapa Hijau
|
Kelapa Hibrida
|
Sangat muda
|
4,226
|
3,707
|
5,457
|
8,44
|
3,96
|
7,8
|
Muda
|
3,73
|
3,562
|
5,257
|
9,64
|
4,4
|
11,38
|
Tua
|
3,532
|
3,473
|
1,907
|
23,08
|
6,66
|
70,9
|
Sumber : (Arsa, 2011)
|
||||||
4.
Manfaat
Air Kelapa Terhadap Kesehatan
Air kelapa memiliki
manfaat bagi kesehatan, yaitu membantu penyembuhan beberapa penyakit, seperti
mengendalikan cacing perut dan mengurangi gatal-gatal pada penderita cacar.
Kandungan K pada air kelapa dapat menurunkan hipertensi, serta membantu
mempercepat absorpsi obat-obat dalam darah. Air kelapa juga membantu mengatasi
gangguan pencernaan dalam mengurangi gas lambung dan mual (Santoso, 2003).
Air kelapa mengandung
unsur kalium dan natrium yang dapat mempengaruhi diuresis dan dapat digunakan
sebagai terapi pada saluran urinaria serta dapat menurunkan tekanan darah
(Alleyne, 2005). Secara farmakologi menunjukkan bahwa kandungan kalium pada
beberapa tanaman obat dapat memperlancar pengeluaran air seni, serta menghambat
pembentukan batu ginjal dalam saluran kencing (Permadi, 2006).
Kandungan natrium pada
air kelapa menyebabkan natriuresis (peningkatan keluaran natrium) dan kemudian
menimbulkan diuresis (peningkatan pengeluaran air) (Guyton dan Hall, 1997). Untuk
mengetahui efektivitas air kelapa dalam menimbulkan efek diuresis, dipakailah
hidroklorotiazid sebagai pembanding karena harganya ekonomis, mudah didapat,
daya hipotensifnya lebih kuat, maka banyak digunakan sebagai pilihan pertama
untuk hipertensi ringan sampai sedang (Tjay dan Rahardja, 2002).
Hidroklorotiazid mempunyai lama kerja 6 - 12 jam serta menghambat reabsorbsi
natrium (Nafrialdi, 2007). Mengingat air kelapa memiliki khasiat untuk membantu
menjaga kesehatan tubuh, maka hal ini akan mendorong industri pemanfaatan air
kelapa untuk membuat minuman ringan maupun minuman kesehatan, seperti sirup air
kelapa.
5.
Sirup
Air Kelapa
Sirup merupakan produk
siap saji yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Sirup adalah sejenis
minuman ringan berupa larutan kental dengan cita rasa beraneka ragam (Satuhu,
2004). Menurut Standart Nasional Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen
Perindustrian (1992) sirup memiliki syarat mutu yaitu kualitas 1 dengan kadar
gula minimal 65 %, sirup kualitas 2 dengan kadar gula 60 % - 65 % dan sirup kualitas
3 dengan kadar gula minimal 55 % - 60 %, dengan demikian gula memiliki peranan
penting dalam pembuatan sirup (Rini, 2011).
Bahan utama pembuatan sirup adalah gula dan air.
Gula merupakan karbohidrat sederhana yang umumnya dihasilkan oleh tebu. Menurut
Satuhu (2004), jenis sirup berdasarkan bahan bakunya dibedakan menjadi tiga
yaitu: (1) sirup essence merupakan sirup yang cita rasanya ditentukan oleh
essence; (2) sirup glukosa merupakan sirup yang berbentuk air gula encer yang
diperoleh dari tepung kentang, tepung jagung, tepung beras, dan bahan lainnya; (3)
sirup buah merupakan sirup yang rasa dan aromanya ditentukan oleh bahan
dasarnya yaitu buah segar, misalnya jambu, markisa, nenas, mangga, air kelapa
dan lain lain.
Sirup air kelapa adalah salah satu minuman yang
memiliki banyak manfaat bagi tubuh. Sirup kelapa juga bisa diberi rasa yang
beraneka ragam, seperti rasa cocopandan, vanilla, stroberry. Variasi rasa tidak
mengurangi kandungan manfaat sirup air kelapa, tetapi dapat memberikan aroma
yang khas (Fauzi, 2016). Berdasarkan Pusat Kerjasama Bisnis The Green Coco Island
tahun 2014, sirup air kelapa adalah sirup yang bersifat isotonik, mengandung
protein alami dan garam mineral alami yang berasal dari air kelapa. Air kelapa merupakan
cairan isotonik alami, yaitu larutan yang mempunyai tekanan osmosis
sama dengan tekanan osmosis cairan plasma darah. Air kelapa juga mengandung
garam mineral dan berbagai asam amino essential yang sangat dibutuhkan tubuh
makhluk hidup, sehingga sirup air kelapa bisa dijadikan minuman organik
murni yang aman dan menyehatkan. Sirup
yang beredar dipasaran harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat mutu sirup
berdasarkan Standar Nasional Indonesia secara lengkap terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Syarat mutu
sirup berdasarkan SNI 01-3544-1999
|
|||
No.
|
Kriteria uji
|
Satuan
|
Persyaratan
|
1
|
Keadaan :
|
||
1.1
|
Aroma
|
-
|
Normal
|
1.2
|
Rasa
|
-
|
Normal
|
2
|
Gula (dihitung sebagai
sukrosa)
|
% b/b
|
Min. 65
|
3
|
Bahan Tambahan Makanan
:
|
||
3.1
|
Pemanis buatan
|
-
|
Tidak boleh ada
|
3.2
|
Pewarna tambahan
|
Sesuai SNI
|
01-0222-1987*)
|
3.3
|
Pengawet
|
Sesuai SNI
|
01-0222-1987*)
|
4
|
Cemaran Logam :
|
||
4.1
|
Timbal (Pb)
|
mg/kg
|
Maks. 1,0
|
4.2
|
Tembaga (Cu)
|
mg/kg
|
Maks. 10
|
4.3
|
Seng (Zn)
|
mg/kg
|
Maks. 25
|
5
|
Cemaran Arsen (As)
|
mg/kg
|
Maks. 0,5
|
6
|
Cemaran Mikrobia :
|
||
6.1
|
Angka Lempeng Total
|
CFU/ml
|
Maks. 5x102
|
6.2
|
Coliform
|
MPN/ml
|
Maks 20
|
6.3
|
Escherichia coli
|
koloni/ml
|
< 3
|
6.4
|
Salmonella
|
koloni/ml
|
Negative
|
6.5
|
S. aureus
|
koloni/ml
|
0
|
6.6
|
Vibrio cholera
|
koloni/ml
|
Negative
|
6.7
|
Kapang
|
koloni/ml
|
maks. 50
|
6.8
|
Khamir
|
koloni/ml
|
maks. 50
|
Sumber : (Badan
Standarisasi Nasional, 1999)
|
|||
Warna sirup secara umum tergantung dari buah yang
digunakan sebagai bahan baku pembuatan sirup, buah memiliki pigmen warna
tertentu misalnya saja pigmen warna hijau klorofil, pigmen warna merah
antosianin dan likopen, maka sirup yang dibuat dari buah akan memiliki warna
sesuai dengan bahan baku yang digunakan untuk pembuatan sirup misalnya sirup
stroberi, stroberi memiliki warna merah sehingga sirup stroberi juga berwarna
merah, akan tetapi sirup essence biasanya menggunakan pewarna makanan yang
sengaja ditambahkan dalam sirup (Manoi, 2006).
Tekstur
sirup secara umum yaitu kental, kekentalan suatu zat cair dengan penambahan
gula tergantung pada lama waktu pemanasan. Semakin lama pemanasan dilakukan
sirup yang dihasilkan akan semakin kental. Daya larut dari gula yang tinggi
akan mengurangi keseimbangan relative (ERH) dan akan mengikat air, sehingga
jika semakin lama proses pemanasan akan terjadi karamelisasi. Semakin tinggi
daya suhu pemanasan maka semakin tinggi daya larut dari gula (Buckle, 2007).
Aroma
sirup pada umumnya tergantung pada aroma pada buah yang digunakan. Buah
memiliki kandungan zat-zat volatil yang menimbulkan aroma pada buah segar, maka
sirup yang dibuat dari buah memiliki aroma sesuai dengan buah yang digunakan
sebagai bahan baku misalnya sirup jeruk keprok aroma yang dihasilkan adalah
aroma jeruk keprok (Marta et al.,
2007).
6.
Pengolahan
Sirup Air Kelapa
Pengolahan sirup kelapa
akan menghasilkan sirup yang berkualitas jika prosesnya memperhatikan kualitas
sejak dari bahan baku sampai pengemasan sirup dan penyimpanan. Air kelapa
mempunyai kandungan nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan minuman
ringan lainnya, sehingga mikroba sangat mudah tumbuh dan berkembang (Gonzales,
1984 dalam Assagaf et al., 2005).
Proses
pengolahan sirup air kelapa dilakukan dengan cara penambahan gula pada air
kelapa, kemudian dipanaskan, setelah mendidih dilakukan pendinginan, kemudian dimasukkan
ke dalam botol. Untuk membuat sirup air kelapa yang memenuhi standar yang perlu
diperhatikan adalah kualitas fisiko kimia, dan organoleptik, yang mengacu pada
persyaratan mutu yang telah ditetapkan oleh SNI (Anonymous, 2011).
Sirup yang
dibuat secara umum memiliki kandungan gula yang tinggi, karena dalam
penyajiannya dibutuhkan pengenceran dengan sejumlah air. Oleh karena itu
penambahan sukrosa (gula pasir) ke dalam bahan baku menjadi mutlak, sehingga
sampai seberapa tepat konsentrasi gula yang dipakai sangat mempengaruhi kualitas
fisik, kimia dan organoleptik sirup yang dihasilkan. Konsentrasi gula untuk
pengolahan sirup air kelapa sekitar 65 %. Penambahan CMC pada sirup air kelapa
dapat meningkatkan kualitas sirup, dan CMC juga dapat meningkatkan kekentalan
serta memperbaiki penampakan sirup menjadi lebih homogen. Bahan yang digunakan
adalah air kelapa matang (tua), gula pasir, CMC, asam sitrat, esense, dan
Natrium benzoat (Assagaf et al.,
2005).
Sirup air kelapa tidak langsung diminum tapi harus
di encerkan terlebih dahulu. Pengenceran diperlukan karena kadar gula dalam
sirup yang terlalu tinggi yaitu antara 60 % - 65 %. Pembuatan sirup dapat
ditambahkan pewarna dan asam sitrat untuk menambah warna dan cita rasa. Sirup
buah adalah sirup yang cita rasanya ditentukan oleh bahan dasarnya yaitu buah
segar, misalnya jambu, markisa, nenas, mangga, air kelapa dan lain-lain
(Satuhu, 2004).
a.
Pewarna
Sintetis dan Alami
Sirup merupakan cairan kental yang
mengandung kadar gula yang cukup tinggi. Sirup biasanya dibuat dengan
menambahkan pewarna sintetis di dalamnya. Pemakaian bahan pewarna
sintetik dalam makanan walaupun mempunyai dampak positif bagi produsen dan
konsumen, diantaranya dapat membuat makanan lebih menarik, meratakan warna
makanan, dan mengembalikan warna dari bahan dasar yang hilang atau berubah
selama 10 pengolahan, ternyata dapat pula menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan dan bahkan mungkin memberi dampak negatif terhadap kesehatan
konsumen seperti penyakit kanker kulit, penyakit kanker mulut, kerusakan otak
(Winarno dan Sulistyowati, 1994).
Berkembangnya
industri pengolahan pangan dan terbatasnya jumlah serta kualitas zat pewarna
alami menyebabkan pemakaian zat warna sintetis meningkat. Pewarna sintetis pada
makanan maupun minuman kurang aman untuk konsumen karena diantaranya ada yang
mengandung logam berat yang berbahaya bagi kesehatan. Oleh sebab itu, perlu
ditingkatkan pencarian alternatif sumber zat pewarna alami. Zat pewarna alami
yang berpotensi untuk diekstrak diantaranya adalah antosianin (Hanum, 2000).
Salah satu sumber
antosianin yang murah dan banyak terdapat di Indonesia adalah pada ubi jalar
ungu, karena mengandung pigmen antosianin yang lebih tinggi daripada ubi jalar
jenis lain (Kumalaningsih, 2006). Total kandungan antosianin bervariasi pada
setiap tanaman dan berkisar antara 20 mg/100 g sampai 600 mg/100 g berat basah.
Total kandungan anthosianin ubi jalar ungu adalah 519 mg/100 g berat basah (Yuni,
2012). Antosianin
telah memenuhi persyaratan sebagai zat pewarna makanan tambahan, diantaranya
tidak menimbulkan kerusakan pada bahan makanan maupun kemasannya dan bukan
merupakan zat yang beracun bagi tubuh, sehingga secara Internasional telah
diijinkan sebagai zat pewarna makanan maupun minuman.
b.
Ubi
Jalar Ungu
Ubi jalar ungu adalah
bahan makanan yang banyak ditemukan di Indonesia. Ubi jalar ungu dapat menjadi
pilihan makanan yang sehat, memiliki warna merah ungu yang menarik, tinggi
kandungan antosianin, fenolik total dan aktivitas antioksidannya. Kandungan
fenolik ubi jalar ungu adalah 261,4 - 712,8 mg per 100 g berat kering, lebih
tinggi daripada kandungan fenolik pada ubi jalar kuning, wortel dan wortel
ungu. Jenis dan jumlah antosianin dalam ubi jalar ungu bervariasi tergantung varietasnya.
Secara umum, jenis antosianin utama dalam ubi jalar ungu adalah peonidin,
cyanidin dan pelargonidin (Truong et al.,
2010).
Ubi ungu merupakan
salah satu jenis ubi jalar yang semua bagian umbinya berwarna ungu dan pertama
kali dikembangkan di Jepang. Warna ungunya lebih pekat dan merata keseluruhan
bagian umbinya mulai dari kulit sampai dagingnya, sehingga ubi ungu sangat
potensial untuk dijadikan bahan baku antosianin (Yudiono, 2011). Ubi jalar ungu
kaya akan serat, mineral, vitamin dan antioksidan, seperti asam phenolic,
antosianin, tocopherol dan β-karoten. Di samping adanya antioksidan, karoten
dan senyawa fenol juga menyebabkan ubi jalar mempunyai berbagai warna (krem,
kuning, orange, dan ungu). Ubi jalar ungu mengandung vitamin dan mineral yang
dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti, vitamin A, vitamin C, kalsium dan zat
besi. Sumber energi yang terkandung dalam ubi jalar ungu yaitu dalam bentuk
gula dan karbohidrat. Selain itu, ubi jalar ungu memiliki kandungan zat warna
yang disebut antosianin (Hutabarat, 2010). Kandungan gizi ubi jalar ungu secara
lengkap dapat dilihat pada tabel 4 brikut.
Tabel 4. Kandungan
gizi ubi jalar ungu dalam 100 g
|
|
Kandungan
|
Jumlah
|
Kalori (kal)
|
123
|
Protein (g)
|
0,77
|
Lemak (g)
|
0,94
|
Karbohidrat (g)
|
27,64
|
Kalsium (mg)
|
30
|
Fosfor (g)
|
49
|
Zat besi (mg)
|
0,7
|
Vitamin A (SI)
|
7.7
|
Vitamin B1 (mg)
|
0,9
|
Vitamin C (mg)
|
21,34
|
Air (g)
|
70,46
|
Gula reduksi
|
0,3
|
Serat
|
0,3
|
BDD (%)
|
86
|
Anthosianin (mg/100 g)
|
110,51
|
Sumber : Sarwono, 2005
dalam Rosidah, 2010
|
|
Total kandungan antosianin ubi jalar ungu berkisar
110,51 mg/100 g. pigmennya lebih stabil bila dibandingkan antosianin dari
sumber lain, seperti kubis merah, elderberi, bluberi, dan jagung merah.
Kestabilan dan kandungan antosianin yang lebih tinggi pada ubi jalar ungu dari
pada sumber lain, menjadikannya sebagai pilihan alternatif pewarna alami
(Ginting et al., 2011). Beberapa
industri pewarna dan minuman berkarbonat menggunakan ubi jalar ungu sebagai
bahan mentah penghasil anthosianin (Kumalaningsih, 2006). Menurut Steed and
Truong (2008), Antosianin dari ubi jalar ungu varietas ayamurasaki bersifat
stabil pada kondisi asam, sehingga cukup potensial untuk dimanfaatkan pada
produk pangan. Selain itu antosianin juga memiliki nilai fungsional sebagai
senyawa antioksidan yang mampu menangkal senyawa radikal bebas (Rozi dan Ruly,
2011).
Pigmen warna ungu pada
ubi jalar ungu bermanfaat sebagai antioksidan karena dapat menyerap polusi
udara, racun, oksidasi dalam tubuh, dan menghambat pengumpulan sel-sel darah. Ubi
jalar ungu juga mengandung serat pangan alami yang tinggi dan prebiotik. Prebiotik
bisa mengusir zat-zat racun penyebab kanker (anti-karsinogenik) dan melawan
mikroba pengganggu (anti-mikrobial). Selain itu, prebiotik membantu menyerap
mineral serta mengatur keseimbangan kadarnya di dalam tubuh. Dengan begitu,
akan terhindar dari osteoporosis. Kandungan lain yang bermanfaat pada ubi jalar
ungu adalah fenol dan betakaroen. Fenol adalah senyawa kimia yang memiliki efek
anti-penuaan dan kompenen antioksidan sedangkan betakaroten, selain sebagai
pembentuk vitamin A, juga berperan sebagai pengendalian hormon melatonin.
Hormon ini merupakan antioksidan bagi sel dan sistem syaraf, berperan dalam
pembentuk hormon endokrin. Kurangnya melatonin akan menyebabkan gangguan tidur
dan penurunan daya ingat, dan menurunnya hormon endokrin yang dapat menurunkan
kekebalan tubuh (Iriyanti, 2012). Komposisi kimia dan
fisik ubi jalar ungu segar dapat dilihat pada tabel 5 berikut.
Tabel 5. Komposisi
kimia dan fisik ubi jalar ungu segar (% db)
|
||||
Sifat Kimia Dan Fisik
|
MSU 03028-10
|
Ayamurasaki
|
||
Air (%)
|
60,18
|
67,77
|
||
Abu (%)
|
2,82
|
3,28
|
||
Pati (%)
|
57,66
|
55,27
|
||
Gula reduksi (%)
|
0,82
|
1,79
|
||
Lemak (%)
|
0,13
|
0,43
|
||
Antosianin (mg/100 g)
|
1419,40
|
923,65
|
||
Aktivitas antioksidan
(%)*
|
89,06
|
61,24
|
||
Warna (L)
|
34,9
|
37,5
|
||
Warna (a*)
|
11,1
|
14,2
|
||
Warna (b*)
|
11,3
|
11,5
|
||
Sumber : Widjanarko,
2008
|
||||
1.
Antioksidan
Antioksidan adalah
komponen yang dapat mencegah atau menghambat oksidasi lemak, asam nukleat, atau
molekul lainnya dengan mencegah inisiasi atau perkembangan pengoksidasian
melalui reaksi berantai. Sayuran dan buah-buahan merupakan bahan pangan yang
kaya akan antioksidan. Beberapa studi menyebutkan bahwa dengan mengkonsumsi
sayuran dan buah-buahan segar dapat menurunkan resiko terkena kanker dan
berbagai penyakit degeneratif lainnya (Wang et
al., 2007).
Antioksidan penting
untuk mempertahankan mutu produk pangan serta kesehatan dan kecantikan. Pada
bidang kesehatan dan kecantikan, antioksidan berfungsi untuk mencegah penyakit
kanker dan tumor, penyempitan pembuluh darah, penuaan dini dan lain-lain. Di
bidang industri pangan, antioksidan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
proses oksidasi yang dapat menyebabkan kerusakan, seperti ketengikan, perubahan
warna dan aroma, serta kerusakan fisik lainnya (Tamat et al., 2007).
Fungsi utama dari
antioksidan adalah untuk memperkecil terjadinya proses oksidasi baik dalam
makanan maupun dalam tubuh. Dalam makanan, antioksidan diharapkan dapat
menghambat oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses
kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan,
meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah
hilangnya kualitas sensori dan nutrisi. Peroksidasi lipid adalah salah satu
faktor yang cukup berperan dalam kerusakan selama dalam penyimpanan dan
pengolahan makanan (Hernani dan Raharjo, 2005). Antioksidan selain digunakan
dalam industri farmasi, tetapi antioksidan juga digunakan secara luas dalam
industri makanan, industri petroleum, industri karet dan sebagainya (Tahir et al., 2003).
Antioksidan didalam sel
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu antioksidan ensimatik dan nonensimatik.
Antioksidan ensimatik disebut juga antioksidan pencegah, yang terdiri dari
superoxide dismutase, catalase dan glutathione peroxidase. Antioksidan non
ensimatik disebut juga antioksidan pemecah rantai. Antioksidan pemecah rantai
terdiri dari vitamin C, vitamin E dan beta karotin (Chevion et al., 2003; Ji, 1999).
Antioksidan yang
terdapat dalam tubuh harus terdapat dalam jumlah yang memadai. Sistem
pertahanan tubuh yang dapat digunakan untuk melawan radikal bebas sangat
dipengaruhi oleh tersedianya zat-zat gizi dalam tubuh yang berasal dari
makanan. Upaya mempertinggi status antioksidan dalam tubuh dapat dilakukan
dengan mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung zat-zat gizi antioksidan
maupun antioksidan non gizi (komponen bioaktif), sehingga kadar antioksidan
endogen dalam tubuh dipertahankan tetap tinggi. Ada dua kelompok sumber
antioksidan, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil
sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan
alami atau yang terkandung dalam bahan alami). Antioksidan alami berasal dari senyawa
fenolik seperti golongan flavonoid. Salah satu contoh produk metabolit sekunder
yang termasuk golongan flavonoid adalah antosianin yang bersifat antioksidan
(Astuti, 2008).
Antioksidan alami yang
terdapat dalam bahan pangan dapat dikategorikan menjadi dua golongan, yaitu (1)
yang tergolong sebagai zat gizi, yaitu vitamin A dan karetenoid, vitamin E,
vitamin C, vitamin B2, seng (Zn), tembaga (Cu), selenium (Se) dan protein; (2)
yang tergolong sebagai zat non-gizi, yaitu biogenik amin, senyawa fenol, antosianin,
zat sulforaphane, senyawa polifenol dan tannin (Muchtadi, 2011). Menurut
Andayani et al. (2008), senyawa fenol
yang memiliki aktivitas antioksidan biasanya memiliki gugus –OH dan –OR seperti
flavonoid dan asam fenolat. Hal yang sama dinyatakan oleh Oktaviana (2010)
bahwa senyawa fenol bisa berfungsi sebagai antioksidan karena kemampuannya
meniadakan radikal-radikal bebas dan radikal peroksida sehingga efektif
menghambat oksida lipida.
Berbagai penelitian
membuktikan bahwa beberapa flavonoid yang terdapat dalam ubi jalar ungu memilki
khasiat antioksidan, karena mikro nutrien yang merupakan gugus fitokimia dari
berbagai bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan tersebut diyakini
sebagai proteksi terhadap stres oksidatif. Salah satu jenis flavonoid dari
tumbuh-tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai antioksidan adalah zat warna alami
yang disebut antosianin (Jaya, 2013).
Berdasarkan hasil
penelitian dari Fakultas Pertanian Unud di Bali ditemukan tumbuhan ubi jalar
ungu yang umbinya mengandung antosianin cukup tinggi yaitu berkisar antara 110
mg - 210 mg/100 g (Suprapta, 2004). Aktivitas antioksidan dominan dalam ubi
jalar ungu disumbangkan oleh kandungan antosianin (Oki et al., 2002). Suda et al.,
(2003) menyatakan bahwa paling sedikit satu gugus caffeoyl asylated pada
antosianin menyumbangkan aktivitas radikal yang tinggi.
2.
Antosianin
Antosianin merupakan
zat warna larut air yang banyak ditemukan pada tanaman, yaitu di bagian bunga,
daun, umbi, buah atau sayur. Antosianin adalah senyawa yang terdiri dari
antosianidin dan gugus gula. Antosianidin yang banyak ditemukan di dalam buah,
sayur atau umbi adalah pelargonidin, sianidin, delfinidin, peonidin, petunidin,
dan malvidin (Kim et al., 2012).
Bagian gula pada antosianin, biasanya berupa glukosa, rhamnosa, xylosa,
galaktosa, arabinosa, dan fruktosa (Ozela et
al., 2007).
Antosianin dapat
memberikan warna yang berbeda (merah, ungu, biru, atau kuning), tergantung pada
pHnya. Pada kondisi pH asam antosianin berwarna merah atau ungu, pada pH basa
berwarna hijau atau kuning, dan pada pH netral berwarna biru. Antosianin
sebagai pewarna banyak digunakan sebagai pewarna alami pada produk minuman,
minuman fermentasi, jus, sari buah, dan mie instan. Di samping sebagai zat
warna alami, antosianin juga dapat berperan sebagai antioksidan, anti
inflamasi, anti kanker (kanker kolon), dan mempunyai kemampuan untuk menurunkan
glukosa darah (Cevallos dan Cisneros, 2004; Wu et al., 2004; Jiao et al., 2012;
Burgos et al., 2013).
Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Laleh et al. (2006)
menunjukkan bahwa peningkatan pH, suhu, dan paparan cahaya dapat merusak
molekul antosianin. Salah satu karakteristik utama antosianin adalah perubahan
warna yang merespon adanya perubahan pH lingkungan. Warna dan stabilitas
antosianin pada larutan sangat tergantung pada pH. Antosianin paling stabil
pada pH rendah dan perlahan kehilangan warnanya seiring dengan peningkatan pH
dan menjadi hampir tak berwarna pada pH 4,0 - 5,0. Faktor yang juga
mempengaruhi stabilitas antosianin adalah struktur antosianin dan
komponen-komponen lain yang terdapat pada bahan pangan tersebut. Antosianin
dapat membentuk kompleks dengan komponen polifenolik lainnya. Komponen flavonol
dan flavon yang biasanya selalu berkonjugasi dengan antosianin juga memiliki
kontribusi dalam menjaga stabilitas antosianin (Gomez, 2006).
Secara kimiawi
antosianin adalah kelompok yang sangat beragam, terdapat sebanyak 550 senyawa
berbeda yang dilaporkan pada awal 2006 mengandung antosianin (Parisa et al., 2007). Kebanyakan antosianin
menghasilkan warna pada pH kurang dari 4. Jumlah gugus hidroksi atau metoksi
pada struktur antosianidin, akan mempengaruhi warna antosianin. Jumlah gugus
hidroksi yang dominan menyebabkan warna cenderung biru dan relatif tidak
stabil. Sedangkan jumlah gugus metoksi yang dominan dibandingkan gugus hidroksi
pada struktur antosianidin, menyebabkan warna cenderung merah (Wijaya, 2009).
Antosianin adalah
bagian senyawa fenol yang tergolong flavonoid. Menurut Durst dan Wrolstad (2005),
antosianin jumlahnya sekitar 90 - 96 % dari total senyawa fenol. Pigmen ini
berperan terhadap timbulnya warna merah hingga biru pada beberapa bunga, buah
dan daun. Antosianin larut dalam air dan aman untuk dikonsumsi, sehingga
umumnya digunakan sebagai pewarna alami untuk produk makanan dan minuman (Chiste
et al., 2010). Antosianin memiliki
fungsi yang baik untuk kesehatan seperti mencegah risiko kanker usus kolon (Lim,
2012) dan kanker hati (Choi et al.,
2010). Antosianin juga diketahui sebagai antidiabetes (Sancho dan Pastore,
2012) dan antioksidan (Takahata et al.,
2011; Jiao et al., 2012).
Aktivitas antioksidan
antosianin dari bunga teleng dan ekstrak lowbush blueberry tertinggi adalah
pada pH 1, diikuti oleh pH 4, 5 dan 7 (Marpaung, 2012). Berbagai macam sayur,
buah, bunga, dan umbi sudah ditemukan mengandung antosianin seperti kubis merah
(Wiczkowski et al., 2013), kulit leci
(Ruenroengklin et al., 2008) beras
hitam, paria, paprika, kulit bawang, kulit anggur, mulberry, buah bit (Boo et al., 2012), rosella (Duangmall et al., 2008), buah duwet (Sari et al., 2012), bunga teleng (Marpaung,
2012) dan ubi jalar ungu (Jiao et al.,
2012).
Komponen antosianin ubi
jalar ungu adalah turunan mono atau diasetil 3-(2-glukosil)glukosil-5-glukosil
peonidin dan sianidin. Ubi jalar ungu yang rasanya manis mengandung antosianin
yang berfungsi sebagai antioksidan, antimutagenik, hepatoprotektif
antihipertensi dan antihiperglisemik (Suda et
al., 2003). Senyawa antosianin berfungsi sebagai antioksidan dan penangkap
radikal bebas, sehingga berperan untuk mencegah terjadi penuaan, kanker, dan
penyakit degeneratif. Selain itu, antosianin juga memiliki kemampuan sebagai
antimutagenik dan antikarsinogenik, mencegah gangguan fungsi hati, antihipertensi,
dan menurunkan kadar gula darah (Husna et
al., 2013).
Berdasarkan hasil
penelitian Katsube et al. (2003) dan
Zhang et al. (2005) bahwa antosianin
yang diisolasi dari tanaman Vaccinium myrtillus, buah-buahan dan sayuran telah
berhasil sebagai bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan sel-sel kanker pada
manusia. Glikosida dari antosianin yang berhasil diidentifikasi dalam
menghambat pertumbuhan sel kanker tersebut masing-masing sianidin, delpinidin,
malvidin, pelargonidin dan petunidin.
Anthosianin ubi jalar
ungu juga memiliki fungsi fisiologis misalnya antioksidan, antikanker,
antibakteri, perlindungan terhadap kerusakan hati, penyakit jantung dan sroke.
Ubi jalar ungu menjadi antikanker karena didalamnya ada zat aktif yang
dinamakan selenium dan iodine dan dua puluh kali lebih tinggi dari jenis ubi
yang lainnya. Ubi jalar ungu memiliki aktivitas antioksidan dan antibakteri 2,5
dan 3,2 kali lebih tinggi daripada beberapa varietas blueberry. Ubi jalar ungu
juga baik untuk mendorong kelancaran peredaran darah (Kumalaningsih, 2006).
Kandungan antosianin
pada ubi jalar ungu lebih tinggi daripada ubi yang berwarna putih, kuning, dan
jingga. Di antara ubi jalar ungu, kultivar Ayamurasaki dan Murasakimasari
merupakan sumber pigmen antosianin dengan produksi dan kestabilan warna yang
tinggi (Suardi, 2005). Senyawa pigmen antosianin merupakan salah satu dari
golongan flavonoid yang terdapat pada tumbuhan seperti bunga, buah dengan
golongan berry, serta sayuran dengan memberikan warna terang seperti jingga,
merah dan biru (Winarti et al.,
2008). Berdasarkan hasil penelitian dari Fakultas Pertanian Unud di Bali ditemukan tumbuhan
ubi jalar ungu yang umbinya mengandung antosianin cukup tinggi yaitu berkisar
antara 110 mg - 210 mg/100 g ( Suprapta, 2004).
Berdasarkan warna
daging umbi, Teow et al. (2007)
melaporkan bahwa 4 kultivar ubi jalar ungu dengan warna daging ungu pekat
memiliki kandungan antosianin berkisar antara 24 hingga 53 mg/100 g dan 2
kultivar ubi jalar ungu dengan warna daging ungu terang (muda) memiliki
kandungan antosianin berkisar antara 3 hingga 7 mg/100 g. Yang dan Gadi (2008)
juga melaporkan bahwa kandungan antosianin ubi jalar ungu dari daerah Kepulauan
Pasifik Barat adalah 40 mg/100 g untuk kultivar Terlaje (kulit ungu) dan 11
mg/100 g untuk kultivar Luta (kulit putih).
Kandungan antosianin
dari umbi ubi jalar ungu yang dibudidayakan di Bali berkisar antara 110 mg/100
g sampai 210 mg/100 g (Suprapta, 2004). Selain itu Widiati (2010) juga
melaporkan kandungan antosianin dari sejumlah ubi jalar ungu yang berasal dari
beberapa sejumlah daerah di Indonesia, seperti ubi jalar Malang mengandung
antosianin 511,70 mg/100 g, Lokal Bone 530,06 mg/100 g, Lokal Sumedang 508,45
mg/100 g, Selo Tiga-2 79,47 mg/100 g, Lokal Sukabumi 606,08 mg/100 g, Bangkok
58,68 mg/100 g, Lokal Bone, 645,37 mg/100 g, Lokal Jambi 69,37 mg/100 g,
Yangyang 65,16 mg/100 g, dan Selo Banyuwangi 76,13 mg/100 g. Semakin ungu warna
umbinya, maka kandungan antosianinnya semakin tinggi (Winarno, 2004).
Kandungan antosianin
ubi jalar ungu akan mengalami perubahan jika dilakukan pengolahan. Proses
pengolahan menurunkan kandungan antosianin ubi jalar ungu segar, tetapi produk
yang dihasilkan tetap menyisakan kandungan antosianin sebagai sumber
antioksidan. Pada kedua jenis ubi jalar, baik ungu pekat maupun ungu muda,
tingkat penurunan kandungan antosianin menunjukkan kecenderungan yang serupa.
Produk olahan yang paling efektif mempertahankan kandungan antosianin adalah
ubi jalar kukus yaitu 34,14 % (ungu pekat) dan 42,16 % (ungu muda), tepung
yaitu 78,45 % (ungu pekat) dan 86,95 % (ungu muda), rebus yaitu 71,18 % (ungu
pekat) dan 46,81 % (ungu muda), goreng yaitu 43,11 % (ungu pekat) dan 60,68 %
(ungu muda) sedangkan olahan keripik menunjukkan penurunan antosianin yang
paling besar yaitu 95,21 % (ungu pekat) dan 88,47 % (ungu muda). Penurunan
aktivitas antioksidan berbanding lurus dengan penurunan kadar antosianin produk
olahan, kecuali pada produk penggorengan. Hal ini disebabkan karena waktu
pemanasan pada proses penggorengan lebih singkat dibandingkan dengan waktu yang
dibutuhkan pada proses perebusan, pengukusan dan penjemuran. Proses pemanasan
terbaik untuk mencegah kerusakan antioksidan dan senyawa flavonoids lainnya
adalah pengolahan dengan suhu yang tinggi, tetapi jangka waktu yang pendek, karena
komponen antioksidan tidak tahan panas (Husna et al., 2013).
Antosianin dari ubi
jalar ungu bersifat stabil dan tidak dipengaruhi oleh radiasi ultraviolet (Kano
et al., 2005), resisten terhadap
perubahan pH dan temperature (Harada et
al., 2004). Pengupasan, pengukusan (steam cooking) atau pembekuan tidak
berpengaruh terhadap kandungan total fenolik dan antosianin ubi jalar ungu.
Tapi penghancuran umbi dalam suhu ruangan akan menurunkan kadar total fenolik
dan antosianin-nya. Hal ini disebabkan karena degradasi polifenol oleh enzim
antosianase, polifenol oksidase dan peroksidase. Enzim - enzim ini sangat aktif
pada suhu ruangan dan terdegradasi pada suhu > 70 0C. Oleh karena
itu, sebaiknya umbi dibekukan atau dikukus terlebih dahulu, sebelum dihancurkan
(Truong et al., 2010).
Paparan cahaya dapat
memperbesar degradasi pada molekul antosianin. Penyebab utama kehilangan pigmen
warna berhubungan dengan hidrolisis antosianin (Ozela et al., 2007). Antosianin juga tidak stabil ketika terkena sinar tampak,
ultraviolet, dan inti lain dari radiasi ion. Dekomposisi sebagian besar terjadi
karena fotooksidasi dan asam p-hidroksibenzoat diidentifikasi sebagai hasil
degradasi minor. Kemampuan cahaya membuat antosianin tereksitasi lewat transfer
electron dapat mempengaruhi pigmen antosianin ke dekomposisi fotokimia.
Oksidatif mengakibatkan oksigen molekuler pada antosianin. Oksigen dan suhu
juga mempercepat kerusakan antosianin. Stabilitas warna antosianin selama
pemprosesan jus buah menjadi rusak akibat oksigen (Arthey dan Ashurst, 2001).
Yang dan Gadi (2008) menyatakan bahwa konsentrasi antosianin menyebabkan
beberapa jenis ubi jalar ungu mempunyai gradasi warna yang berbeda.
Menurut
Jie et al. (2013),
stabilitas antosianin tergantung pada faktor suhu, pH, dan matriks pelarut. Menurut
Dixon et al. (2007), pemarutan,
pengeringan, dan pemasakan pasta ubi kayu dapat mengurangi jumlah antioksidan
di dalam bahan pangan. Rahmawati (2011) mengemukakan bahwa proses pemanasan
terbaik untuk mencegah kerusakan antosianin adalah pemanasan pada suhu tinggi
dalam jangka waktu pendek (High Temperature Short Time).
3.
Ekstraksi Antosianin
Ekstraksi adalah proses
pemisahan berdasarkan perbedaan kelarutan bahan (Berk, 2009). Ekstrak disaring
dengan kain saring agar terpisah antara ampas dengan filtratnya (Anditasari et al., 2014). Menurut Rahayu (2009),
ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya dengan pembagian sebuah
zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat tercampur untuk mengambil zat
terlarut tersebut dari satu pelarut ke pelarut lain.
Ekstraksi bertujuan
untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi
didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana
perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke
dalam pelarut. Proses pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman yaitu
pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel,
maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang
terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentras cairan zat aktif di dalam
dan di luar sel. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi laju ekstraksi adalah
tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu pelarut, dan
tipe pelarut (Depkes RI, 1995).
Antosianin dapat
diekstraksi dengan pelarut seperti air, aseton, etanol, metanol, atau campuran
dari pelarut berair, namun antosianin tidak stabil dalam larutan netral atau
basa. Karena itu antosianin harus diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut yang
mengandung asam asetat atau asam hidroklorida dan larutannya harus disimpan di
tempat gelap serta sebaiknya didinginkan (Hutabarat, 2010).
Suhu dan pH berpengaruh
terhadap efisiensi ekstraksi antosianin dan koefisien difusinya, semakin rendah
pH maka koefisien distribusi semakin tinggi, demikian juga semakin tinggi
temperaturnya. Tetapi antosianin merupakan senyawa fenolik yang labil dan mudah
rusak akibat pemanasan, sehingga berakibat pada penurunan biaoktivitasannya.
Pengaruh suhu menjadi tidak signifikan dengan penambahan HCl pada pelarut yang
digunakan untuk ekstraksi, karena pengaruh HCl lebih besar daripada pengaruh
suhu. Penggunaan HCl 1 % dalam ekstraksi antosianin akan menyebabkan hidrasi
sebagian hingga total antosianin yang terasetilasi sehingga akan mempengaruhi
absorbsinya dalam tubuh (Perry, 1999) .
Ekstraksi pigmen
antosianin dari bahan nabati umumnya menggunakan larutan pengekstrak HCl dalam
etanol. HCl dalam etanol akan mendenaturasi membran sel tanaman kemudian
melarutkan pigmen antosianin keluar dari sel. Pigmen antosianin dapat larut
dalam ethanol karena sama-sama polar. Namun, Proses ekstraksi dengan
menggunakan pelarut aquades lebih banyak keuntunganya dikarenakan senyawa yang
akan diekstrak merupakan senyawa polar, sedangkan aquades dan antosianin
merupakan pelarut dan bahan terlarut yang sama-sama memiliki sifat polar
(Wahyu, 2014). Namun bila dilihat tingkat polaritasnya antara antosianin
sebagai zat terlarut dan air sebagai pelarut tidak seimbang.
Menurut Ricter et al. (2006), tingkat polaritas
antosianin digolongkan semipolar (dielektrik konstan 30 - 40), sedangkan air
adalah sangat polar (dielektrik konstan 80). Karena itu, untuk meningkatkan
efisiensi ekstraksi antosianin polaritas air sebagai pelarut harus diturunkan
sampai mendekati polaritas antosianin. Menurut King (2009), peningkatan suhu
akan menurunkan polaritas air. Kondisi Optimum proses ekstraksi dengan metode
Subcritical Water dicapai pada suhu 112 oC, waktu 20 menit, dan pH 2
yang secara simultan dapat mengekstraksi antosianin sebesar 0,563 mg/g (Yudiono,
2011).
4.
Penggunaan
Ekstrak Ubi Jalar Ungu
Sayuti et al. (2013) melakukan penelitian
terhadap pembuatan yoghurt jagung manis dengan penambahan ekstrak ubi jalar
ungu dengan konsentrasi ekstrak ubi jalar ungu yang terdiri dari 0 %, 5 %, 10 %
dan 15 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan yang memperoleh
hasil organoleptik yang terbaik dari segi tekstur, warna, rasa dan aroma adalah
penambahan ekstrak ubi jalar ungu 10 % dengan rerata tingkat kesukaan panelis
terhadap tekstur 3,60, warna 4,05, aroma 3,65 dan rasa 3,75 dan dengan kriteria
tekstur kental, warna ungu muda, aroma khas yoghurt dan rasa yang asam.
c.
Gula
Gula adalah karbohidrat
murni yang tidak tersusun atas nutrien lainnya seperti lemak, protein, vitamin,
dan mineral karena gula itu karbohidrat yang murni maka gula disebut sebagai
kalori kosong. Gula pasir merupakan hasil dari batang tebu yang digiling dan
diperas kemudian cairannya yang manis diolah menjadi gula, gula pasir atau
sukrosa adalah disakarida yang tersusun dari satu gugus glukosa dan satu gugus
fruktosa (Tirtowinata, 2006).
Sugiyono (2002),
menyatakan bahwa gula termasuk kedalam golongan senyawa yang disebut
karbohidrat yang terdiri dari tiga golongan yaitu monosakarida, disakarida dan
polisakarida. Monosakarida adalah contoh gula sederhana yang merupakan turunan
disakarida. Apabila sukrosa dihidrolisis akan menghasilkan dua molekul gula sederhana
yaitu satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Gula dalam bentuk
glukosa, fruktosa, sukrosa, maltosa dan laktosa adalah suatu bahan yang umum
digunakan sebagai pemanis.
Sukrosa merupakan
oligosakarida yang mempunyai peran penting dalam pengolahan makanan dan banyak
terdapat pada tebu. Sukrosa mempunyai sifat sedikit higroskopis dan mudah larut
dalam air semakin tinggi suhu kelarutan semakin besar. Kristal sukrosa yang
berhubungan langsung dapat menyerap uap air sampai 1 % dari berat sukrosa. Industri
makanan menggunakan sukrosa dalam bentuk kristal halus atau kasar dan dalam
jumlah yang banyak dipergunakan dalam bentuk cairan sukrosa (sirup). Pembuatan
sirup gula pasir (sukrosa) dilarutkan dalam air dan dipanaskan sebagian sukrosa
akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa yang disebut gula invert (Winarno,
2002). Komposisi gula pasir dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi
gula pasir (sukrosa)
|
|
Komponen
|
Jumlah (%)
|
Kadar air
|
0,61
|
Sukrosa
|
97,10
|
Gula Pereduksi
|
1,24
|
Abu
|
0,35
|
Senyawa lain
|
0,70
|
Sumber :
(Kumalaningsih dan Suprayogi, 2006)
|
|
Gula pasir adalah gula
hasil kristalisasi cairan tebu. Biasanya berwarna putih namun ada pula yang
berwarna coklat raw sugar. Disebut
gula pasir karena bentuknya yang seperti pasir. Biasanya gula pasir digunakan untuk pemanis dalam
minuman, kue, makanan, dan lain-lain (Evifadhilah, 2010).
Fungsi gula dalam
pembuatan sirup adalah untuk membentuk cita rasa, dan sebagai bahan pengawet
yang menghambat pertumbuhan khamir dan kapang. Masa awet dari bahan yang di
olah mempunyai jangka waktu tertentu yang diistilahkan dengan masa kadaluarsa (Cahyo
dan Hidayanti, 2006).
d.
Asam
Sitrat (Citric Acid
Monohydrate)
Asam sitrat merupakan
senyawa kimia yang bersifat asam yang ditambahkan dalam proses pengolahan
makanan dan minuman dengan berbagai tujuan, asam sitrat dapat berfungsi sebagai
pengawet dan penegas rasa pada pengolahan minuman seperti pembuatan sirup (Winarno,
2004). Asam sitrat adalah senyawa organik yang banyak terdapat pada tanaman, jaringan
hewan dan cairan fisiologis. Diantaranya ditemukan pada berbagai buah-buahan
dan sayur-sayuran (Apelblat, 2014).
Asam sitrat merupakan
senyawa intermediet dari asam organik yang berbentuk kristal atau serbuk putih.
Sifat-sifat asam sitrat yaitu mudah larut dalam air, spiritus dan ethanol, tidak
berbau, rasanya sangat asam, serta jika dipanaskan akan meleleh kemudian
terurai yang selanjutnya terbakar sampai menjadi arang. Asam sitrat merupakan
agen pengkelat. Asam sitrat menghambat terjadinya pencoklatan karena dapat
mengkompleks ion tembaga yang dalam hal ini berperan sebagai katalis dalam
reaksi pencoklatan. Selain itu, asam sitrat juga dapat menghambat pencoklatan
dengan cara menurunkan pH sehingga enzim PPO menjadi inaktif (Winarno, 2002).
Menurut Food and Drug
Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat asam
sitrat merupakan bahan pengawet yang dinyatakan benar-benar aman untuk dikonsumsi.
Asam sitrat masih berdekatan dengan vitamin C dan sama-sama merupakan pengawet
alami yang baik. Kandungan asam didalamnya berfungsi mencegah pertumbuhan
bakteri dan jamur. Asam sitrat dinyatakan aman pada 99,9 % populasi (Cahyono,
2013). Menurut Balai Pengawasan Pangan Obat dan Makanan (BPPOM) penggunaan
maksimum asam sitrat dalam minuman adalah sebesar 3 gram/liter. Asam sitrat
dapat dipakai untuk mengatur keasaman ataupun bahan pengawet makanan, dan juga
untuk mencegah pemucatan/browning misalnya pada buah-buahan (Resti, 2012).
Asam sitrat dipakai
untuk meningkatkan rasa asam (mengatur tingkat keasaman) pada berbagai
pengolahan minuman, produk air susu, selai, jeli, dan lain-lain. Asam sitrat
berfungsi sebagai pengawet pada keju dan sirup, digunakan untuk mencegah proses
kristalisasi dalam madu, gula-gula dan juga untuk mencegah pemucatan berbagai
makanan. Penggunaan maksimum dan minuman adalah sebesar 3 gram/liter sari buah (Permenkes
No.722/Menkes/IX/1988).
e. CMC (Carboxymethyl cellulose)
CMC (Carboxymethyl cellulose) adalah turunan dari selulosa dan ini
sering dipakai dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik.
Fungsi CMC yaitu sebagai pengental, stabilisator, pembentuk gel, sebagai
pengemulsi dan dalam beberapa hal dapat meratakan penyebaran antibiotik. CMC
mudah larut dalam keadaan dingin maupun panas (Winarno, 2004).
CMC bersifat biodegradable, tidak berwarna, tidak
berbau, tidak beracun, butiran atau bubuk yang larut dalam air namun tidak
larut dalam larutan organik, stabil pada rentang pH 2 - 10, bereaksi dengan
garam, logam berat membentuk film yang tidak larut dalam air, transparan, serta
tidak bereaksi dengan senyawa organik (Wayan, 2009). CMC digunakan dalam bentuk
garam natrium carboxymethyl cellulose
sebagai pemberi bentuk, konsistensi, dan tekstur. CMC berfungsi untuk mempertahankan
kestabilan minuman agar partikel padatannya tetap terdispersi merata ke seluruh
bagian sehingga tidak mengalami pengendapan (Prasetyo et al., 2015).
Jumlah CMC yang diperlukan untuk menjaga stabilitas
produk yang baik tergantung pada tingkat kekentalan sebelum dikonsumsi. Produk
yang mengandung sejumlah besar padatan yang kental hanya membutuhkan penambahan
CMC dalam jumlah sedikit. Sebaliknya, penambahan CMC dalam jumlah besar dapat
digunakan untuk menciptakan tekstur produk yang mengandung beberapa zat padat
terlarut (Akkarachaneeyakorn dan Tinrat, 2015). Batas maksimum penggunaan bahan
tambahan pangan penstabil menurut PerKABPOM RI No. 24 Tahun 2013 adalah 5000
mg/kg, setara dengan 5000 ppm atau jika dikonversikan ke satuan % b/b yaitu
senilai 0,5 %.
7.
Sifat
Organoleptik
Organoleptik merupakan
pengujian terhadap bahan makanan berdasarkan kesukaan dan kemauan untuk menilai
suatu produk. Dalam penilaian bahan pangan sifat yang menentukan diterima atau
tidak suatu produk adalah sifat indrawinya. Penilaian indrawi ini ada 6 (enam)
tahap yaitu pertama menerima bahan, mengenali bahan, mengadakan klarifikasi
sifat-sifat bahan, mengingat kembali bahan yang telah diamati, dan menguraikan
kembali sifat indrawi produk tersebut (Winarno, 2004).
Uji organoleptik
(sensori) adalah pengujian yang dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap
suatu produk, dengan mengandalkan panca indera. Panelis adalah orang/kelompok
yang memberikan penilaian terhadap suatu produk. Beberapa faktor yang harus diperhatikan
dalam melakukan uji organoleptik adalah fisiologi (keadaan fisik panelis),
psikologi (perasaan panelis) dan kondisi lingkungan saat pengujian (Kume,
2002).
Mutu sensori atau uji
organoleptik bahan pangan adalah suatu ciri karakteristik bahan pangan yang
muncul dari satu atau dari kumpulan atau kombinasi dua atau lebih sifat-sifat
yang dapat dikenali dengan menggunakan panca indra manusia. Ada 2 klasifikasi
karakteristik utama bahan pangan yaitu karakteristik fisik atau tampak dan karakteristik
tersembunyi. Karakteristik fisik adalah karakteristik yang dapat kita lihat
tanpa bantuan alat dan hanya mengandalkan indera kita saja seperti warna, tekstur,
aroma, rasa, konsistensi. Sedangkan karakteristik tersembunyi adalah
karakteristik dimana kita membutuhkan alat untuk menilainya seperti nilai gizi,
keamanan mikrobiologis, dan lain-lain (Sofiah dan Achyar, 2008).
a.
Warna
Pengujian warna
digunakan dalam pengujian organoleptik karena warna mempunyai peranan penting
terhadap tingkat penerimaan produk secara visual. Suatu bahan pangan meskipun
dinilai enak, tetapi memiliki warna yang tidak menarik atau memberi kesan telah
menyimpang dari warna yang seharusnya, maka seharusnya tidak akan dikonsumsi.
Penentuan mutu suatu bahan pangan pada umumnya tergantung pada warna karena
warna tampil lebih dahulu (Winarno, 2002).
b.
Aroma
Aroma merupakan zat
volatil yang dilepaskan dari produk yang ada di dalam mulut atau aroma
seringkali disebut sebagai bau dari bahan pangan. Aroma suatu produk pangan
dapat dinilai dengan cara mencium bau yang dihasilkan dari produk tersebut.
Aroma makanan ditentukan oleh baunya. Industri pangan menganggap aroma sangat
penting di uji karena dapat memberikan penilaian terhadap hasil produksinya
menambahkan peranan aroma dalam produk pangan sama pentingnya dengan warna
karena akan menentukan daya terima konsumen (Winarno, 2002).
c.
Rasa
Rasa sangat berhubungan
dengan aroma, dimana keduanya merupakan komponen cita rasa. Jika aroma disukai
biasanya rasa juga akan disukai. Terlihat pada persentase produk yang paling
disukai oleh panelis sejalan antara aroma dan rasa. Senyawa cita rasa pada
produk dapat memberikan rangsangan pada indera penerima. Rasa dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan
komponen rasa yang lain (Setyaningsih et
al., 2010).
d.
Tekstur
Tekstur merupakan salah satu atribut
organoleptik yang mempengaruhi penerimaan panelis terhadap produk sirup glukosa pati sagu (Fridayani,
2006). Pada umumnya sirup air kelapa memiliki tekstur yang kental seperti sirup
pada umumnya. Kekentalan sirup air kelapa dipengaruhi oleh penambahan CMC (Carboxymethyl cellulose) (Wardhani et al., 2015). Cairan yang mengalir
secara cepat seperti contohnya air, alkohol dan bensin karena memiliki nilai
viskositas yang kecil. Sedangkan cairan yang tidak mengalir secara cepat
seperti contohnya minyak, madu dan sirup karena mempunyai viskositas besar.
Jadi, viskositas tidak lain menentukan kecepatan mengalirnya suatu cairan
(Yazid, 2005).
B. Kerangka
Pikir
Tanaman kelapa merupakan
tanaman serbaguna yang memiliki nilai ekonomi tinggi karena seluruh bagian
tanaman ini mulai dari akar, batang, daun dan buah dapat dimanfaatkan untuk
pemenuhan kebutuhan manusia. Salah satu bagian tanaman kelapa yang pemanfaatannya
paling utama adalah dari buahnya
yang merupakan bagian paling penting karena mempunyai nilai ekonomis dan nilai gizi
yang tinggi. Buah kelapa banyak dimanfaatkan
pada bagian dagingnya, namun air kelapanya tidak
diolah, bahkan dibuang begitu saja dan pada akhirnya menjadi limbah.
Air kelapa yang kurang dimanfatkan dan terbuang begitu saja, ternyata
masih memiliki susunan nilai gizi yang sesuai dengan kebutuhan manusia.
Secara umum, air kelapa mempunyai khasiat dan nilai gizi dengan komponen utama
terdiri dari air, kalium, sejumlah kecil karbohidrat, protein dan garam
mineral. Kandungan mineral alami dan protein di dalam air kelapa sangat baik
untuk kesehatan. Mengingat air kelapa memiliki khasiat dan kandungan gizi yang cukup
baik untuk kesehatan dan juga pemanfaatannya masih kurang, maka sangat
berpotensi untuk dijadikan bahan pangan. Salah satu potensi air kelapa yang
dapat dilakukan adalah di olah menjadi sirup air kelapa.
Pengolahan
air kelapa menjadi sirup dapat diperoleh dengan penambahan gula yang
dipanaskan, penambahan CMC untuk kekentalan, dan asam sitrat sebagai pengawet, tetapi warna dari sirup air kelapa putih keruh sehingga
terlihat kurang menarik. Untuk membuat penampilan atau
warnanya menarik, ditambahkan ekstrak ubi jalar ungu. Penambahan
ekstrak ubi jalar ungu adalah sebagai pewarna alami dan antioksidan dalam sirup
air kelapa. Untuk membuat sirup air kelapa yang
memenuhi standar, yang perlu diperhatikan adalah kualitas fisik, kimia dan
organoleptik yang mengacu pada persyaratan mutu yang telah ditetapkan oleh SNI.
C.
Hipotesis
Hipotesis
dari penelitian ini yaitu :
1.
Penambahan ekstrak ubi jalar
ungu dapat mempengaruhi sifat fisik, kimia dan organoleptik sirup air kelapa.
2.
Penambahan ekstrak ubi jalar
ungu dapat meningkatkan aktivitas antioksidan sirup air kelapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar