BAHAN
TAMBAHAN PANGAN
“Aplikasi Ekstrak Kulit Buah Naga
Sebagai Pewarna Alami Pada Susu Kedelai Dan Santan”
OLEH
KELOMPOK 1b
Firdawati Mondo (Moderator)
Wa Ode Irmayanti (Pemateri 1)
Darwin Hamente (Pemateri
2)
JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya
panjatkan kehadirat
Allah
SWT
yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini
yang Alhamdulillah
tepat pada waktunya
yang berjudul “Aplikasi
Ekstrak Kulit Buah Naga Sebagai Pewarna Alami Pada Susu Kedelai Dan Santan”.
Makalah ini kami susun
dalam rangka memenuhi tugas kuliah Bahan Tambahan Pangan dan untuk menambah wawasan tentang pewarna
alami khususnya pada kulit buah naga serta
aplikasinya dalam bahan pangan.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan
makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah
SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Amin.
Kendari, 18 Juni 2016
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada
beberapa faktor diantaranya cita rasa,
tekstur,
nilai gizi dan
sifat biologisnya (Winarno,
1997). Namun demikian perlu dipertimbangkan faktor warna makanan agar
lebih
menarik untuk
dikonsumsi. Keamanan pangan
berkaitan
erat dengan penggunaan
bahan
tambahan
makanan
seperti pengawet, pemanis,
perisa makanan serta
pewarnanya. Pada kenyataannya
penggunaan bahan tambahan makanan
(food additive) yang
kurang
terpantau dengan baik dalam ketepatan bahan yang
digunakan akan
memberikan
efek negatif bagi konsumen
(Winarno, 1994).
Penggunaan bahan tambahan makanan khususnya pewarna masih menjadi faktor penting
dalam dunia bisnis kuliner.
Makanan yang mempunyai
warna akan lebih disukai dibandingkan dengan yang
tidak berwarna. Untuk
menghasilkan warna yang menarik, produsen makanan pada umumnya
menggunakan pewarna sintetis
bahkan ada juga yang dengan sengaja menggunakan pewarna tekstil agar menghasilkan warna yang cerah. Menurut Jenie dkk (1994), penggunaan pewarna sintetis untuk makanan atau minuman dapat menyebabkan toksik dan karsinogenik. Efek-efek negatif
dari penggunaan pewarna
sintetis dapat berkurang karena digantikan pewarna alami dari tumbuhan. Adanya logam berat yang terakumulasi akan menimbulkan
gangguan
kesehatan
seperti kanker, pengendapan logam berat pada
kornea mata, syaraf yang bisa merenggut jiwa manusia (Depkes, 2004).
Dengan demikian amatlah penting bagi kita untuk menjaga kesehatan
terutama
penggunaan bahan
tambahan dalam makanan. Salah satu cara untuk mengurangi penggunaan zat aditif
makanan sintetis adalah penggunaan zat warna alami yang diperoleh
dari tumbuhan yang berpotensi dapat digunakan
sebagai zat pewarna, sehingga efek-efek negatif dari penggunaan
zat warna sintetis dapat berkurang.
Di Indonesia banyak sumber daya nabati berupa tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan makanan antara lain untuk bahan pewarna.
Zat warna alami yang banyak dipakai berasal dari berbagai bagian dari tumbuh-
tumbuhan. Namun demikian pemakaian zat warna alami di masa sekarang
masih belum popular karena proses untuk memperoleh zat warna tersebut lebih sukar dibandingkan
pembuatan zat warna sintetis. Sementara pemakaian zat warna
alami lebih aman karena sisa pemakaiannya mudah
diuraikan oleh
bakteri dibandingkan
zat warna sintetis. (Mahayana, 2012).
Kulit buah naga berpotensi sebagai pewarna makanan karena
mempunyai pigmen
warna
merah, yang dapat memberikan warna yang menarik
pada makanan.
Disamping itu
buah naga juga
mudah
didapatkan di pasaran.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang pada makalah ini, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa saja senyawa
yang terkandung dalam buah naga?
2. Bagaimana aplikasi ekstrak kulit buah naga sebagai pewarna alami pada susu kedelai
dan santan:
a. Bagaimana tahapan pelaksanaan ekstrak
kulit buah naga?
b. Bagaimana mengetahui kadar asam lemak
bebas ekstrak kulit buah naga?
c. Bagaimana mengetahui jumlah total
mikrobia ekstrak kulit buah naga?
d. Bagaimana mengetahui Analisis sifat
organoleptic ektrak kulit buah naga?
C.
Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan
agar para pembaca mampu mengetahui tentang:
1. Senyawa yang
terkandung dalam buah naga
2. Aplikasi ekstrak
kulit buah naga sebagai pewarna alami pada susu kedelai dan santan:
a. Tahapan pelaksanaan ekstrak kulit
buah naga
b. Kadar asam lemak bebas ekstrak kulit
buah naga
c. Jumlah total mikrobia ekstrak kulit
buah naga
d. Analisis sifat organoleptic ektrak
kulit buah naga
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Buah Naga Dan Kandungannya
Buah naga atau Dragon Fruit (Hylocereus
undatus (Haw.) Britt & Rose/
family Cactaccae) saat ini banyak dikembangkan di Indonesia. Terdapat empat
jenis
buah
naga yakni buah naga daging putih (Hylocereus
undatus), buah naga
daging merah (Hylocereus polyrhizus),
buah naga daging super merah
(Hylocereus costaricencis) dan buah naga kuning
daging
putih (Selenicerius megalanthus) (Ashari,
2011).
Di Indonesia banyak dikembangkan buah naga daging putih (Hylocereus
undatus). Buah naga dapat digunakan untuk
menurunkan kolesterol dan
gula
darah karena memiliki kandungan protein 0,48%-0,5%, karbohidrat 4,33-4,98, lemak 0,17-0,18%, dan vitamin seperti
karoten, thiamin, riboflavin, niasin, dan
asam askorbat (Morton, 1987). Vitamin C dan karoten yang
dimilikinya bersifat
antioksidan yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
Buah naga juga
menyediakan sumber vitamin B1, B2, dan B3. Vitamin-vitamin tersebut dapat meningkatkan
energi, bantuan memetabolisme makanan, dan bahkan meningkatkan kualitas kulit.
Kombinasi nutrisi dalam buah naga membantu
mengatur tekanan darah dan gula darah. Buah naga juga sangat baik untuk asma dan batuk, mengandung vitamin yang meningkatkan pandangan mata.
Mineral
yang terkandung dalam buah-buahan membantu meningkatkan kepadatan tulang
dan kesehatan
gigi (Ashari,
2011).
a.
Pigmen
Pigmen adalah zat
pewarna alami yang
merupakan golongan senyawa yang
berasal dari hewan atau tumbuhan. Pewarna alami dapat dipakai sebagai
tambahan makanan, tetapi beberapa pewarna sintetis, terutama karotenoid, dianggap sama dengan pewarna alam
sehingga
tidak perlu pemeriksaan toksikologi secara ketat seperti bahan pengisi lain (Dziezak,
1988).
Salah satu jenis dari pigmen adalah antosianin. Antosianin
merupakan pigmen yang larut dalam air, tersebar luas dalam
bunga dan daun, serta menghasilkan warna dari merah sampai biru. Zat pewarna
alami
antosianin
merupakan senyawa flavonoid
yang tergolong
ke
dalam
turunan benzopiran. Struktur utama turunan benzopiran ditandai dengan adanya
dua
cincin aromatik
benzena (C6H6) yang
dihubungkan dengan
tiga
atom karbon yang membentuk cincin
(Moss, 2002).
Antosianin
akan
berubah warna seiring
dengan
perubahan nilai pH. Pada pH tinggi antosianin
cenderung bewarna
biru atau
tidak berwarna, sedangkan untuk pH
rendah berwarna merah. Kebanyakan antosianin
menghasilkan warna merah keunguan pada pH
kurang dari 4. Jumlah gugus 6 hidroksi atau metoksi pada struktur antosianidin, akan mempengaruhi warna antosianin. Adanya gugus hidroksi yang dominan menyebabkan warna cenderung
biru dan
relatif tidak
stabil, sedangkan jika gugus
metoksi
yang dominan pada struktur
antosianidin, akan menyebabkan warna cenderung
merah
dan relatif
stabil (Deman,
1997).
b.
Antosianin
Antosianin merupakan pigmen golongan flavonoid yang
larut dalam air.
Menurut
Winarno (1997) warna-warna merah,
biru, ungu dalam
buah
dan tanaman biasanya disebabkan oleh warna
pigmen antosianin (flavonoid) yang
terdiri atas tiga gugusan
penting:
1. Cincin dasar
yang terdiri dari gugusan
aglikon (tanpa gula).
2. Gugusan aglikon
atau gula.
3. Asam organik asli misalnya koumarat, kofeat atau
ferulat (Winarno,
1997).
Menurut
Markakis (1982),
molekul antosianin
disusun
dari sebuah
aglikon (antosianidin) yang
teresterifikasi dengan satu atau lebih gula (glikon). Adanya gugusan gula yang
meliputi monosakarida, disakarida, dan
trisakarida akan mempengaruhi stabilitas antosianin. Apabila gugusan gula lepas, antosianin menjadi labil. Ketika pemanasan dalam asam pekat, antosianin pecah
menjadi antosianidin dan gula.
Antosianin diyakini mempunyai efek antioksidan yang
sangat baik. Sebuah penelitian yang dilakukan di Universitas Michigan Amerika menunjukkan bahwa
antosianin dapat menghancurkan radikal bebas, lebih efektif daripada vitamin
E yang selama ini telah dikenal sebagai antioksidan kuat (Winarno, 1997). Penelitian lain di Amerika Serikat membuktikan bahwa antosianin
merupakan antioksidan paling
kuat
diantara kelas flavonoid lainnya. Kandungan antosianin diyakini dapat
menghambat
berbagai radikal bebas seperti
radikal
superoksida dan hydrogen peroksida. Antosianin dan berbagai
bentuk turunannya
dapat
menghambat berbagai reaksi
oksidasi dengan berbagai
mekanisme (Astawan dan Kasih,
2008).
Faktor yang mempengaruhi kekuatan antioksidan pada
buah-buahan berwarna ungu antara lain tingkat kematangan buah. Pada buah yang
hijau hanya terdiri dari
malvidin-3-acetylglucoside dan
pigmen polymeric sedangkan pada buah
yang masak terdiri dari cyanidin-3-rutinoside (>75%), cyanidin-3-glucoside (<17%), dan malvidin-3-acetylglucoside (<9%)
(Rivera dkk,
1998). Selama proses
pematangan, buah banyak terjadi
perubahan kimia, termasuk
perubahan komposisi pigmen dan perubahan warna yang melibatkan proses biosintesis dan
katabolisme. Selama proses pematangan ini, kloroplas secara berangsur -angsur
akan digantikan oleh kromoplas yang hanya mengandung karotenoid. Proses
pematangan pada berbagai buah juga melibatkan biosintesis
antosianin yang larut
dalam air yang
terakumulasi dalam vakuola sentral dalam sel mesofil. Proses
pembentukan antosianin ini diawali oleh malonil-CoA yang
berasal dari 3 asetil- CoA dan p-koumaroil-CoA fenilalanin (MacDougall, 2002). Ketika tingkat kematangan
semakin tinggi maka aktivitas antioksidannya semakin
tinggi, antosianin meningkat pada buah
yang
semakin matang.
Faktor yang juga mempengaruhi stabilitas antosianin adalah struktur
antosianin dan komponen-komponen lain yang terdapat pada bahan pangan tersebut. Antosianin dapat membentuk kompleks dengan komponen polifenolik
lainnya. Komponen
flavonol dan
flavon yang biasanya selalu
berkonjugasi dengan
antosianin juga memiliki kontribusi dalam menjaga stabilitas antosianin (Gomez,
2000).
Proses pemanasan juga merupakan faktor terbesar yang menyebabkan kerusakan antosianin. Proses
pemanasan terbaik untuk mencegah kerusakan antosianin
adalah pengolahan pada suhu
tinggi, tetapi dalam jangka waktu yang sangat pendek (High Temperature Short Time (HTST)). Cabrita dan Andersen (1999)
menyatakan bahwa peningkatan suhu
penyimpanan dari
10°C menjadi
23°C, masing-masing selama 60 hari, akan menyebabkan peningkatan kerusakan
antosianin dari 30 persen menjadi 60 persen. Sebaliknya, stabilitas antosianin
dapat
meningkat sebanyak 6-9 kali ketika suhu penyimpanan diturunkan dari
20°C menjadi 4°C. Antosianin yang disimpan di dalam ruang vakum akan lebih stabil dibandingkan dengan
disimpan
di ruang terbuka.
c.
Antioksidan
Antioksidan adalah komponen yang dapat mencegah atau
menghambat
oksidasi lemak, asam nukleat, atau molekul lainnya dengan mencegah inisiasi atau perkembangan
pengoksidasian melalui reaksi berantai. Sayuran dan
buah-buahan merupakan
bahan pangan yang
kaya
akan antioksidan. Beberapa studi
menyebutkan bahwa dengan mengkonsumsi sayuran
dan buah-buahan segar dapat menurunkan resiko terkena kanker dan
berbagai penyakit degeneratif lainnya (Wang dkk,
2007).
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat terbebas dari senyawa
radikal bebas,
asap rokok,
makanan yang
digoreng,
dibakar, paparan
sinar
matahari yang
berlebih, asap kendaraan bermotor, obat-obat tertentu, racun dan
polusi udara yang merupakan
sumber pembentuk senyawa radikal bebas. Radikal
bebas merupakan molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak
berpasangan. Elektron-elektron yang
tidak berpasangan ini menyebabkan radikal
bebas menjadi senyawa yang
sangat reaktif terhadap sel-sel tubuh dengan cara mengikat elektron molekul sel,
melalui reaksi oksidasi (Pietta, 1999). Oksidasi
yang berlebihan terhadap asam nukleat, protein, lemak, dan DNA sel dapat
menginisiasi terjadinya penyakit degeneratif seperti jantung
koroner, katarak,
gangguan kognisi, dan kanker (Leong dan Shui, 2002; Pietta, 1999). Karakter
utama senyawa antioksidan
adalah kemampuannya untuk
menangkap
radikal
bebas (Prakash, 2001).
Menurut Halliwell (1996), senyawa radikal yang
terdapat dalam tubuh
berasal dari luar tubuh
(eksogen)
maupun dari dalam tubuh
(endogen) yang
terbentuk dari hasil metabolisme zat gizi secara normal. Dalam proses fisiologis timbulnya senyawa radikal bebas
(pro-oksidan) akan diimbangi oleh mekanisme
pertahanan endogen dengan menggunakan zat (senyawa) yang mempunyai
kemampuan sebagai anti radikal bebas, yang juga disebut antioksidan. Senyawa
ROS (Reactive Oxygen Species) memberikan efek merusak bila keseimbangan antara oksidan
dan antioksidan terganggu.
Keseimbangan ini tergantung pada
konsumsi pangan yang
membawa asam-asam amino esensial dalam jumlah yang diperlukan untuk
mensintesis
protein
serta zat
gizi lain
yang diperlukan.
Walaupun
secara teoritis senyawa radikal
di
dalam tubuh
dapat dihilangkan
apabila terdapat antioksidan, tetapi efisiensi penghilangan senyawa radikal ini tidak pernah mencapai 100%.
B.
Aplikasi Ekstrak
Kulit Buah Naga Sebagai Pewarna Alami Pada Susu Kedelai Dan Santan
1.
Tahapan Pelaksanaan Ekstrak Kulit
Buah Naga
a.
Penyiapan Kulit Buah Naga. Kulit buah naga dipisahkan dari
daging buah menggunakan pisau kemudian kulit tersebut dicincang sehingga
diperoleh sampel kulit buah naga.
b.
Pemasakan Kulit Buah Naga. Air dipanaskan sebanyak 1000 ml
sampai mendidih kemudian dimasukkan kulit buah naga yang sudah di cincang.
Kulit buah naga diblanching selama 5 menit kemudian di saring dengan kain
saring maka didapatkan ekstrak kulit buah naga warna merah. Selanjutnya ekstrak
tersebut diukur volumenya sesuai perlakuan 20%, 30%, 40% kemudian diaplikasikan
kesusu kedelai dan santan, metode ekstraksi ini berdasarkan pada penelitian (Wahyuni,
2011).
2.
Metode Analisis
Variabel
pengamatan pada penelitian “Aplikasi Ekstrak
Kulit Buah Naga Sebagai Pewarna Alami Pada Susu Kedelai Dan Santan” meliputi asam lemak bebas (Sudarmadji
et al, 1984), Total Mikrobia
(Muhiddin et al, 2001), dan analisis
sifat organoleptik meliputi warna, aroma, aroma, rasa, dan kesukaan keseluruhan
dengan skor 1-7 (sangat tidak suka-sangat suka) (Kartika et al, 1988).
a. Kadar Asam Lemak Bebas.
Berdasarkan Gambar 1, diketahui bahwa
kadar asam lemak bebas tertinggi pada susu kedelai terdapat pada penambahan konsentrasi ekstrak
kulit buah naga 20% yaitu 0,04% dan terendah terdapat pada penambahan
konsentrasi ekstrak kulit buah naga 40% yaitu 0,01% demikian halnya dengan
santan, kadar asam lemak bebas tertinggi
terdapat pada penambahan konsentrasi
ekstrak kulit buah naga 20% yaitu 1,26%
sedangkan kadar asam lemak bebas terendah terdapat pada penambahan
konsentrasi ekstrak kulit buah naga 40% yaitu 0,69%. Semakin tinggi konsentrasi
ekstrak kulit buah naga semakin menurun kadar asam lemak bebas pada susu
kedelai dan santan. Hal ini diduga karena pada kulit buah naga mengandung antioksidan yang tinggi sehingga
mampu menghambat proses oksidasi.
Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Nurliyana et al,
(2010) diketahui bahwa kandungan fenolik total ekstrak etanol
kulit buah naga
lebih tinggi daripada kandungan
fenolik total yang terdapat
pada daging buahnya.
Selain itu aktivitas
antioksidan kulit buah naga (IC50
= 0,3 mg/mL) juga lebih tinggi daripada
aktivitas antioksidan daging
buahnya (IC50 > 1 mg/mL).
b. Jumlah Total Mikrobia.
Berdasarkan Gambar 2, jumlah mikrobia
tertinggi pada susu kedelai terdapat
pada penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga 20% yaitu 2,38x107
dan jumlah mikrobia terendah terdapat pada penambahan konsentrasi ekstrak kulit
buah naga 40% yaitu 1,15x107 demikian halnya dengan santan jumlah
mikrobia tertinggi terdapat pada
penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga 20% yaitu 3,54 x 107 dan jumlah mikrobia terendah terdapat
pada penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga 40% yaitu 1,36x107.
Semakin tinggi konsentrasi ekstrak kulit buah naga semakin menurun jumlah
mikrobia pada susu kedelai dan santan. Hal
ini diduga karena kulit buah naga mengandung senyawa-senyawa aktif dan
antioksidan yang dapat menghambat pertumbuhan mikrobia.
Kulit buah naga mengandung
senyawa-senyawa aktif diantaranya alkaloid, terpenoid, flavonoid, tiamin, niasin,
pridoksin, kobalamin, fenolik, karoten, dan fitoalbumin (Jafar, 2009). Widowati
(2011) dalam Fadliah (2014) menyatakan bahwa beberapa penelitian disebutkan
kelompok polifenol juga memiliki peran
sebagai antibakteri.
c. Analisis sifat organoleptic
1) Warna
Warna adalah sifat sensori pertama
yang diamati pada saat konsumen menemui produk pangan. Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya
sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya adalah rasa, warna, tekstur,
dan gizinya. Namun, sebelum
faktor-faktor lain diperhatikan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu
dan kadang-kadang sangat menentukan keputusan konsumen. Selain sebagai faktor yang menentukan mutu,
warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Baik tidaknya cara pencampuran atau cara
pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam atau merata
(Winarno, 2002).
Berdasarkan gambar 3, nilai panelis
terhadap warna susu kedelai berkisar antara 3 (agak tidak suka) sampai 5 (agak
suka) sedangkan pada santan berkisar antara 4 (netral) sampai 5 (agak
suka). Nilai terendah yang diberikan
panelis terhadap warna susu kedelai yaitu 3 (agak tidak suka) diperoleh dari
penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga 20% dan nilai tertinggi 5 (agak
suka) diperoleh dari penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga 40%
demikian halnya dengan santan nilai terendah 4 (netral) diperoleh dari
penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga 20% dan tertinggi 5 (agak suka)
diperoleh dari penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga 40%. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak kulit buah
naga yang diaplikasikan pada susu kedelai dan santan semakin meningkat nilai
kesukaan panelis terhadap warna susu kedelai dan santan. Hal ini diduga karena
kulit buah naga mengandung pigmen antosianin yang berkontribusi memberikan
warna merah. Menurut Saati (2009) dalam
penelitiannya, ekstrak kulit buah naga super merah dengan pelarut air
mengandung 1,1 mg/100 ml antosianin. Antosianin
merupakan zat warna yang
berperan memberikan warna merah
berpotensi menjadi pewarna
alami untuk pangan dan
dapat dijadikan alternatif pengganti pewarna sintetis yang
lebih aman bagi kesehatan (Citramukti, 2008).
2) Aroma
Aroma dapat didefinisikan sebagai
sesuatu yang dapat diamati dengan indera pembau. Di
dalam industri pangan, pengujian terhadap
bau atau aroma dianggap penting
karena dengan cepat dapat
memberikan hasil penilaian
terhadap produk tentang diterima
atau tidaknya produk
tersebut. Selain itu,
aroma juga dapat digunakan
sebagai indikator terjadinya
kerusakan pada produk (Kartika et al, 1988).
Berdasarkan gambar 4, nilai panelis
terhadap aroma susu kedelai berkisar antara 2 (tidak suka) sampai 5 (agak suka)
sedangkan pada santan berkisar antara 2 (tidak suka) sampai 5 (agak suka).
Nilai terendah yang diberikan panelis terhadap aroma susu kedelai yatu 2 (tidak
suka) diperoleh dari penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga 40% dan
nilai tertinggi 5 (agak suka) diperoleh dari penambahan konsentrasi ekstrak
kulit buah naga 20% demikian halnya dengan santan nilai terendah 2 (tidak suka)
diperoleh dari penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga 40% dan tertinggi
5(agak suka) diperoleh dari penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga 20%.
Semakin tinggi konsentrasi ekstrak kulit buah naga semakin menurun nilai
kesukaan panelis terhadap aroma susu kedelai dan santan. Hal ini diduga karena
aroma dari kulit buah naga yang tidak disukai panelis. Berdasarkan penelitian yang di lakukan
Wahyuni (2011), menurut catatan panelis pada persentase kulit buah naga 60%
aroma kulit yang langu masih tercium.
3) Rasa
Rasa makanan dapat dikenali dan
dibedakan oleh kuncup-kuncup cecapan yang terdapat pada papilla yaitu bagian
noda merah hingga jingga pada lidah (Winarno, 2002). Flavor
atau rasa sebagai rangsangan yang
ditimbulkan oleh bahan
yang dimakan, yang
dirasakan oleh indra pengecap
atau pembau, serta
rangsangan lainnya seperti perabaan dan penerimaan derajat panas
oleh mulut (De Mann, 1989).
Berdasarkan gambar 5, nilai panelis
terhadap rasa susu kedelai berkisar antara 2 (tidak suka) sampai 4 (netral)
sedangkan pada santan berkisar antara 1 (sangat tidak suka) sampai 4
(netral). Nilai terendah yang diberikan
panelis terhadap aroma susu kedelai yaitu 2 (tidak suka) diperoleh dari
penambahan konsentarsi ekstrak kulit buah naga 40% dan nilai tertinggi 4
(netral) diperoleh dari penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga 20%
demikian halnya dengan santan nilai terendah 1 (sangat tidak suka) diperoleh
dari penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga 40% dan tertinggi 4
(netral) diperoleh dari penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga
20%. Semakin tinggi konsentrasi yang
diaplikasikan pada susu kedelai dan santan semakin menurun kesukaan panelis
terhadap rasa susu kedelai dan santan. Hal ini diduga karena kulit buah naga
berkontribusi memberikan rasa pekat sehingga tidak disukai panelis.
4)
Kesukaan Keseluruhan
Kesukaan seseorang terhadap suatu
produk dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : (1) warna, rasa, dan
penampilan yang menarik (sensory); (2) bernilai gizi tinggi dan (3)
menguntungkan bagi tubuh konsumen (Nursalim dan Razali, 2009).
Berdasarkan gambar 6, nilai panelis
terhadap kesukaan keseluruhan susu kedelai berkisar antara 3 (agak tidak suka)
sampai 4 (netral) sedangkan pada santan berkisar antara 2 (tidak suka) sampai 5
(agak suka). Nilai terendah yang diberikan panelis terhadap kesukaan
keseluruhan susu kedelai yaitu 3 (agak tidak suka) diperoleh dari penambahan
konsentrasi ekstrak kulit buah naga 40% dan nilai tertinggi 4 (netral)
diperoleh dari penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga 20% sedangkan
pada santan nilai terendah 2 (tidak suka) diperoleh dari penambahan konsentrasi
ekstrak kulit buah naga 40% dan tertinggi 5 (agak suka) diperoleh dari
penambahan konsentrasi ekstrak kulit buah naga 20%. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak kulit buah
naga yang diaplikasikan pada susu kedelai dan santan, semakin menurun nilai
kesukaan keseluruhan panelis terhadap susu kedelai dan santan. Hal ini diduga
karena aroma langu dan rasa pekat.
Menurut Winarno (2002), Pengujian
tingkat kesukaan suatu produk dimaksudkan untuk mengukur reaksi konsumen dan
tingkat kesukaanya terhadap suatu sampel dibanding dengan sampel lain. Kesukaan merupakan penelitian akhir bagi
panelis dan merupakan kunci diterima atau tidaknya suatu produk yang dihasilkan
oleh produsen.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Buah naga dapat digunakan untuk
menurunkan kolesterol dan
gula
darah karena memiliki kandungan protein 0,48% - 0,5%, karbohidrat 4,33 - 4,98, lemak 0,17 - 0,18%,
dan vitamin seperti karoten, thiamin, riboflavin, niasin, dan asam askorbat. Vitamin C dan karoten yang
dimilikinya bersifat
antioksidan yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
Buah naga juga
menyediakan sumber vitamin B1, B2, dan B3. Vitamin-vitamin tersebut dapat meningkatkan
energi, bantuan memetabolisme makanan, dan bahkan meningkatkan kualitas kulit.
Kombinasi nutrisi dalam buah naga membantu
mengatur tekanan darah dan gula darah. Buah naga juga sangat baik untuk asma dan batuk, mengandung vitamin yang meningkatkan pandangan mata.
Mineral
yang terkandung dalam buah-buahan membantu meningkatkan kepadatan tulang
dan kesehatan
gigi.
2.
Konsentrasi ekstrak kulit buah naga yang mampu
menghasilkan susu kedelai dan santan bermutu dengan warna yang stabil adalah
40% dengan karakteristik kimia yang meliputi 0,01% kadar asam lemak bebas dan 1,15
x 107 cfu/ml total mikrobia.
- Selanjutnya
pada mutu organoleptik, konsentrasi ekstrak kulit buah naga 20% merupakan
hasil terbaik dengan skor untuk aroma, rasa dan tingkat kesukaan secara
keseluruhan berturut-turut adalah 5 (agak suka), 4 (netral) dan 4
(netral).
- Pada
produk santan menunjukkan bahwa konsentrasi 40% memberikan hasil terbaik
khususnya pada asam lemak bebas (0,69%) dan total mikrobia (1,36x 107
cfu/ml).
- Selanjutnya
pada mutu organoleptik, konsentrasi ekstrak kulit buah naga 20% merupakan
hasil terbaik dengan skor untuk aroma, rasa dan tingkat kesukaan secara
keseluruhan berturut-turut adalah 5 (agak suka), 4 (netral) dan 5 (agak
suka)
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, Sam. 2011. Benefict of Dragon
Fruit.
Fruit
En Veg.
http://frut-veg.blogspot.com/diunduh 6 Desember 2012.
Astawan M dan Kasih
AL.
2008. Khasiat warna-warni makanan. Gramedia Pustaka Umum:
Jakarta
Cabrita L. 1999. Analysis
and stability of anthocyanins. [dissertation].University of Bergen,
Department of
Chemistry: Bergen.
Citramukti, I., 2008. Ekstraksi dan Uji Kualitas Pigmen Antosianin Pada Kulit Buah Naga Merah
(Hylocereus costaricensis), (Kajian Masa Simpan Buah dan Penggunaan Jenis
Pelarut), Skripsi Jurusan THP Universitas Muhammadiyah Malang: Malang.
De Mann, J. M. 1989.
Principle of Food Chemistry. The Avi Pub Co. Inc., Westport. Connecticut (4): 10-13.
Deman,J.M.
1997. Kimia Makanan.
Diterjemahkan oleh Padmawinata K.
ITB Press: Bandung
Dziezak J.D. 1988. Microencapsulation
and Encapsulated
Ingredients.
Food
Technology: 136-151.
Gόmez-Plaza E, Miñano A, dan Lόpez-Roca JM.
2006. Comparison of chromatic
properties, stability and antioxidant capacity
of anthocyanin-based aqueous extracts from grape pomace obtained from different vinification methods. Food
Chemistry 97:87-94.
Hallwell B. 1996. Reactive species and antioxidants: Redox biology is a fundamental theme of aerobic life.
Plant Physiology 141:312–322.
Kartika, B. P. Hastuti, W. Supartono. 1988. Pedoman
Uji Inderawi Bahan Pangan. UGM Press. Yogyakarta.
Leog L.P., Shui, G., 2002. An Investigation of Antioxidant Capacity of Fruit in
Singapore Markets, Food Chemistry 76: 69-75.
MacDougall DB. 2002. Colour in Food: Improving Quality. CRC Press, Boca Raton.
Markakis, P. 1982. Anthocyanins as Food Additives. Di dalam Anthocyanins as
Food Colors. Markakis,
P. (ed). 1982. Academic Press:
New York.
Morton J., 1987. Strawberry Pear,
in:
Morton, J., Fruits of Warm Climites,
Miami
Florida, p. 347-348.
Moss, B.W. 2002. The Chemistry of Food Colour. Di dalam:
D.B. MacDougall, Editor. 2002. Colour in Food:
Improving Quality.
Washington: CRC Press.
Nursalim dan Razali. 2009. Penilaian
Organoleptik.FPMIPA/JUR._PEND._KIMI A/195109191980032_Penilaian_Organolep
tik.pdf.
Pietta P-G., 1999. Falvonoid as Antioxidants, Review, J. Nat. Prod., 63, 1035-
1042.
Prakash A., 2001. Antioxidant
Activity, Medaltion
Laboratories Analitycal Progres, Vol. 19 (2).
Rivera, J., C. Ordorica, dan P. Wesche. 1998. Changes
in Anthocyanin
Concentration in Lychee (Litchi chinensis
Sonn) Pericarp During Maturation. J.
Food Chem 65 (1999) 195-200.
Sudarmadji, S., Haryono, B.,
dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty:
Yogyakarta.
Wahyuni, Rekna 2011. Pemanfaatan dan Pengolahan Kulit Buah Naga Super Merah. :
universitas Brawijaya: Malang.
Wang H, Cao G, Prior RL. 2007. Oxygen radical absorbing capacity of anthocyanins. J Agric Food
Chem 45:304-309.
Winarno, F.G., 1997.
Kimia
Pangan dan Gizi.
PT. Gramedia:
Jakarta
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar